Selasa, 31 Maret 2009

Penelitian dan fungsi-fungsinya



PENELITIAN DAN FUNGSI-FUNGSINYA
Prof.Dr.Dede Rosyada, MA.
9 Maret 2009

A. Karakterisitik Kerja Penelitian

Penelitian adalah sebuah kerja ilmiah, yakni perkerjaan yang dituntut untuk selalu memenuhi ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empirik dan sistematis (Sugiyono,1999: 1). Kerja ilmiah harus selalu rasional, baik dari segi proses maupun hasilnya, yakni bahwa proses penelitian itu harus bisa dinalar oleh semua orang. Berbeda dengan kerja spiritual yang tidak rasional dan tidak bisa dinalar. Walaupun proses spiritual itu merupakan sebuah kebenaran, tapi bukan kerja ilmiah, karena proses dan hasilnya tidak bisa dinalar oleh akal manusia. Kemudian, kerja ilmiah juga harus empirik, yakni bahwa proses kerja serta data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis harus termati oleh siapapun, sehingga ketika diinfor-masikan pada orang lain, mereka bisa menerimanya. Bedakan dengan pendekatan supranatural, yang proses kerjanya tidak bisa diamati, sehingga walaupun hasilnya bisa diterima oleh sebuah sistem keyakinan, tapi pendekatan supra natural bukan kerja ilmiah, karena tidak bisa diamati. Dan terakhir, kerja ilmiah itu harus sistematis, yakni bahwa sajian data, makna dan kesimpulannnya tersusun secara koheren antara satu tahap kerja dengan lainnya, dan antara satu pernyataan dengan lainnya, sehingga bisa difahami dengan mudah oleh para penggunanya.

Penelitian adalah pekerjaan para ilmuwan yang memiliki komitmen untuk terus mengevaluasi dan mengembangkan teori untuk mengembangkan dan memperkokoh bangunan keilmuan, atau bahkan menambah cabang keilmuan baru, mengembangkan teknologi yang langsung digunakan para pemakai, apakah dunia industri, birokrasi, praktisi atau memberikan solusi terhadap berbagai persoalan sosial. Oleh sebab itu, cara kerja penelitian kemudian menjadi ragam. Kendati demikian, secara umum, semua aktifitas penelitian itu berangkat dari sebuah persepsi yang sama, bahwa penelitian adalah penerapan pendekatan ilmiah pada kajian satu masalah (Ary at all, 2004: 32). William Wiersma, sebagaimana dikutip oleh Emzir, merumuskan bahwa penelitian adalah suatu proses sistematik pengumpulan dan penganalisaan informasi (data) untuk berbagai tujuan (Emzir,2008: 5). Sementara Kerlinger, sebagaimana dikutip oleh Emzir menjelaskan bahwa penelitian adalah penyelidikan sistematis, terkontrol, empiris dan kritis tentang fenomena sosial yang dibimbing oleh teori dan hipotesis tentang dugaan yang berhubungan dengan fenomena tersebut (Emzir,2008: 5). Kemudian Moh. Nazir menyimpulkan bahwa penelitian adalah pencarian pengetahuan dan pemberian makna yang terus menerus (Nazir,1999: 15). Pada penelitian, secara lebih sederhana bisa dikatakan, terdapat proses dan juga hasil. Proses bisa diukur atau dianalisis tingkat akuntabilitasnya dengan mencermati metodologi dan prosedur kerjanya, sementara hasilnya adalah sebuah temuan teoretik, baik temuan teoretik belaka, atau temuan tentang teknologi tepat guna yang bisa langsung diterapkan oleh para penggunanya, atau rumusan pemecahan masalah yang bisa ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan. Dengan demikian, penelitian adalah sebuah kerja ilmiah yang dilakukan secara sistematis, untuk menghasilkan teori, temuan teknologi baru atau temuan solusi masalah, yang dilakukan secara sistematis, berbasis data empirik yang dianalisis secara kritis, dikontrol oleh hipotesis, dan atau dimaknai untuk diinterpretasi, dan dirumuskan seuah pernyataan teoretik, bangunan teknologi yang bisa diaplikasikan secara empirik, atau rumusan solusi masalah yang bisa ditindaklanjuti para pemangku kepentingan.

Penelitian sudah memberikan kontribusi nyata terhadap kemajuan temuan ilmiah di dunia ini. Tidak ada satu disiplin ilmu pun yang terlahir dan berkembang tanpa melalui proses penelitian. Kendati penelitian sering dan pada umumnya dilakukan parsial, tapi sebagaimana dikemukakan Nazir, bahwa kesimpulan-kesimpulan teoretiknya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang jika kemudian diakumulasi, disusun dalam sebuah struktur keilmuan yang komprehensif dan sistematis, akan menjadi sebuah bangunan ilmu menyeluruh (Nazir,1988: 9), yang tidak saja menjelaskan hakikat keilmuannya itu, tapi juga susunan teoretik dan intrumentasinya untuk dapat diimplementasikan, sehingga akan mampu membawa perubahan dan kemajuan bagi umat manusia di dunia ini. Bersamaan dengan itu, penelitian dalam konteks ini juga dkembangkan untuk menjelaskan sebuah fenomena tertentu di masyarakat, yang memiliki signifikansi cukup kuat untuk dijelaskan secara ilmiah, baik dilihat dari perspektif prilaku keberagamaan, ekonomi, politik maupun susunan budaya tertentu yang memiliki keunikan dibanding dengan budaya komunitas lain di masyarakat.

Kemudian dari itu, kehidupan sebuah masyarakat senantiasa berhadapan dengan berbagai persoalan sebagai implikasi dari penyatuan ragam budaya, bahasa dan kepentingan, sehingga muncul maslaha-masalah sosial politik, ekonomi, pendidikan dan bahkan juga masalah hukum yang meregulasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, di setiap Departemen di Indonesia ini ada sebuah lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melakukan penelitian, baik untuk penyelesaian masalah, maupun pengembangan program-program kerja ke depan. Penelitian tersebut, sebagaimana disinggung Suharsimi lazim disebut sebagai penelitian kebijakan, karena hasilnya diserap oleh pemerintah untuk pengembangan berbagai program pemerintahannya, dan berlaku secara luas (Arikunto,1997: 8) untuk dan di seluruh kelompok masyarakat. Dengan demikian, penelitian tidak saja dilakukan dalam konteks pengembangan ilmu tapi juga untuk pengembangan berbagai kebijakan, baik dalam skala mikro sebuah institusi, maupun dalam skala makro dari sebuah pemerintahan.

Sejalan dengan fungsi-fungsinya itu, serta tagihan terhadap hasil-hasilnya, kerja ilmiah tersebut dinamai dengan research, discovery dan ada juga yang menyebutnya dengan inquiry. Kendati ketiganya bisa digunakan untuk menyebut sebuah aktifitas yang sama yaitu penelitian, tapi secara leksikal masing-masing memiliki pertimbangan dan kekuatan. Research sebagaimana dijelaskan Ian Kennedy dalam tulisannya how to do a research adalah sebuah proses pengumpulan dan analisis informasi (data) secara sistematis dalam rangka menambah pemahaman tentang sebuah fenomena, fokus yang sedang diamati atau masalah yang sedang dicari pemecahannya (Kennedy,2007). Oleh sebab itu, lebih lanjut ian Kennedy menjelaskan bahwa aktifitas research untuk mencoba mencapai tujuan memahami fenomena, memperoleh jawaban masalah dan atau pemecaan masalah yang dilakukan secara sistematis, serta didukung dengan data, memerlukan prosedur kerja yang benar, yang dalam penelitian lazim disebut sebagai metodologi penelitian.

Sementara itu, term discovery sebagaimana dikemukakan oleh James Whalen dalam tulisannya dengan judul what is discovery, adalah, membuka segala informasi yang hendak diketahui dari semua dan segala sisi, agar memperoleh informasi lengkap sebelum perumusan kesimpulan (Whalen, 2007). Dengan demikian, proses discovery akan memakan waktu cukup lama, dan prosedur yang mungkin berbeda sesuai dengan informasi yang akan digali. Istilah discovery biasa digunakan untuk mengemukakan sebuah aktifitas penelitian yang berusaha maksimal membuka seluruh informasi yang terkait dengan wilayah penelitian, sehingga rumusan kesimpulan yang dihasilkannya sangat kuat dan tidak terkritik lagi dengan informasi yang berlawanan atau informasi yang berbeda, karena informasi tersebut sudah tereksplorasi dalam proses penelitian. Karakter ini sangat nampak dalam penelitian naturalistik fenomenologis, sehingga penelitian tersebut sering diidentikkan dengan penelitian longitudinal berdurasi waktu yang sangat panjang.
Term inquiry juga biasa digunakan dalam penelitian dengan penekanan pada kajian mendalam sehingga menghasilkan kesimpulan yang kuat dan tidak ada data atau informasi yang tertinggal dalam proses analisis. Alan Colburn dalam tulisannya berjudul an Inquiry Primer menegaskan bahwa inquiry adalah, penelitian yang dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai teknik untuk memperoleh berbagai informasi secara komprehensif tentang fokus penelitian (Colburn: 2000; 42), sehingga bisa merumuskan kesimpulan yang kuat. Nampaknya inquiry memiliki kesamaan-kesamaan orientasi penelitian dengan discovery, karena inquiry menuntut informasi yang komprehensif, hanya saja dalam inquiry dituntut pendalaman makna dengan perluasan interview, sehingga makna-makna fenomena yang teramati peneliti dapat dimaknai secara obyektif, sesuai dengan yang dikemukakan oleh informan.
Di kalangan akademisi Indonesia research, discovery dan inquiry diterjemahkan dengan penelitian, dan discovery atau inquiry tidak banyak digunakan dalam diskusi akademik penelitian, kecuali untuk menunjuk sebuah model dan pendekatan dalam pelaksanaan penelitian. Namun sebagai sebuah kegiatan ilmiah, penelitian memiliki karakter kerja yang spesifik, yakni:

1. Dimulai dengan rumusan sebuah masalah penelitian

2. Kemudian diikuti dengan rumusan tujuan yang jelas

3. Penelitian juga menuntut kajian teori, khusus untuk penelitian dengan pengujian teori, diteruskan kemudian dengan rumusan proposisi dan hipotesis

4. Sebelum memulai pengumpulan data, peneliti harus mempersiapkan instrumen, wilayah generalisasi dan kelompok yang akan dijadikan sumber informasi. Khusus untuk pnelitian kualitatif, sebelum pengumpulan data, peneliti harus menetapkan seting penelitian yang sesuai dengan fokus yang akan diamatinya.

5. Peneliti melakukan pengumplan data dan informasi untuk menguji hipotesis dalam penelitian deduktif saintifik, dan untuk merumuskan hipotesis dalam penelitian induktif naturalistik.

6. Peneliti harus merumuskan teori hasil penelitian, yang teori itu menjadi general statement lepas dari kasus yang diamatinya, karena pernyataan teoretik tersebut sudah memasuki wilayah pengetahuan yang berlaku umum, lepas dari kasusnya sndiri.

Tidak mudah bagi para peneliti muda untuk menemukan masalah penelitiannya, karena harus diasah sense of curious-nya terhadap sebuah fenomena atau perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, atau pengembangan teori-teori baru dalam bidang keilmuan, sehingga menemukan ide cerdas yang memiliki signifikansi untuk diteliti dan memperoleh respon positif dari kalangan akademisi, para birokrat atau para pengguna hasil peneliti lainnya. Begitu banyak masalah yang perlu memperoleh rumusan-rumusan pemikiran solutif yang memiliki reliabilitas sebagai hasil penelitian, hasil ujicoba dan atau hasil pengamatan yang cukup panjang. Oleh sebab itu, para peneliti diharapkan senantiasa memiliki kepekaan terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan, agar mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan bangsa ke depan. Lebih dari itu, mereka diharap terus mencermati teori-teori yang kini berkembang dalam berbagai bidang keilmuan, baik yang telah terserap dalam regulasi atau belum, para peneliti harus terus memiliki responsibilitas untuk pengembangan-pengembangan teori baru, yang pada saatnya nanti bisa diserap oleh regulasi, sehingga mampu secara struktural mempengaruhi perubahan sosial.

Kemudian, penelitian juga harus diawali dengan rumusan tujuan yang jelas, yakni rumusan apa yang hendak diperoleh dan dicapai oleh peneliti dalam penelitiannya. Rumusan tujuan penelitian mewakili unsur aksiologi dari sebuah ilmu, yakni hasil peelitian ini akan menghasilkan apa, berguna untuk siapa, dalam rangka melakukan perbaikan-perbaikan apa. Semua pertanyaan tersebut harus mampu terjawab dalam hasil penelitian, yang biasanya dituangkan dalam akhir penelitian yang di Indonesia, diberi ruang dalam sub judul implikasi dan rekomendasi dari hasil penelitian. Pada bagian ini, sebaiknya peneliti mampu menawarkan uraian detail tentang operasionalisasi hasil-hasil penelitian, sehingga bisa dipakai oleh para birokrat, dan pemangku kepentingan lain. Diharapkan semua hasil penelitian mampu menawarkan aksiologi dari teori hasil penelitiannya, walaupun penelitian konsep, pemikiran dan gagasan-gagasan dasar.

Penelitian, deduktif ataukah induktif, tetap perlu diawali dengan kajian teori. Penelitian induktif, kendati perumusan hipotesisnya dari data, yakni peneliti merumuskan hipotesis penelitiannya setelah memperoleh data, dan melakukan telaahan buku dalam rangka melakukan interpretasi terhadap makna-makna fenomena, tapi sebelum turun melakukan field study, sebaiknya peneliti harus melakukan kajian teori terlebih dahulu, khususnya untuk memperjelas definisi, ruang lingkup dan berbagai aspek penting tentang fokus yang diamatinya, sehingga tidak salah pengamatan. Memang dalam penelitian induktif, peneliti harus lebih fokus pada data, dan harus mampu membuka berbagai informasi yang tertutup, serta mendalami berbagai informasi tersebut melalui interview, sehingga mengkaji teori di awal menjadi kurang urgen, tapi tetap perlu untuk menjelaskan knsep-konsep teoretis tentang fokus yang akan diamatinya, dan memperjelas distingsi wilayah penelitiannya dengan penelitian sejenis yang dilakukan sebelumnya. Apalagi, jika peneliti mempertimbangkan teori penelitian sosial yang dikembangkan oleh Chicago School, yang paradigmanya sangat berbeda dengan para ahli antrologi dengan paradigma penelitian etnografi yang harus blank mind, sementara Chicago School berpendirian, bahwa perubahan sosial dipengaruhi oleh struktur sosial dan lingkungan fisik (Wikipedia,2008), dengan demikian, perubahan-perubahan tersebut bisa diprediksi, diasumsi, dan variabel-variabel struktur sosial serta lingkungan fisik perlu dipelajari secara teoretik, sebelum peneliti turun ke lapangan. Sementara dalam penelitian deduktif yang diawali dengan proposisi dan hipotesis, kajian teori menjadi sangat penting, karena peneliti tidak akan mampu merumuskan proposisi kalau tidak melakukan kajian teori. Demikian juga sebagaimana ditegaskan oleh John W best dan James V Khan, sangat diperlukan untuk menjelaskan variabel-variabel yang diukur, serta konstelasi hubungan antar variable (Best dan Khan,1993: 10).

Kemudian peneliti deduktif harus menetapkan wilayah generalisasi, yakni wilayah keberlakuakn teori hasil penelitiannya, sementara penelitian induktif tidak menagih generalisasi, karena teori hasil penelitian naturalistik adalah penjelasan terhadap fenomena yang diamati, dan dari fenomena atau kasus yang diamati itu, lahir teori umum yang lepas dari konteks kasusnya. Oleh sebab itu, dalam penelitian naturalistik, peneliti harus menetapkan seting penelitiannya untuk melakukan pengamatan terhadap fenomena yang akan dikajinya, melakukan interview untuk memperoleh makna dari fenomena yang diamati, serta melakukan interpretasi dengan mencoba membandingkan kesimpulan hasil analisisnya dengan teori-teori yang sudah ada, atau justru melakukan proses interpretasi dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada.

Di samping itu, dalam penelitian induktif atau dalam istilah yang digunakan Michael Quinn Patton adalah Qualitative Insquiry (Inquiry Kualitatif), peneliti adalah instrumen. Dengan demikian validitas instrumen sangat ditentukan oleh tingkat keahlian dan kompetensi peneliti, serta perhatian dia terhadap pekerjaan lapangan yang dihadapinya (Patton,1990: 14). Semakin inten mereka memperhatikan pekerjaan lapangannya, maka akan semakin lengkap informasi yang dia peroleh, dan akan semakin akurat interpretasi yang dihasilkannya untuk perumusan teori. Akan tetapi, dalam penelitian deduktif yang lazim juga disebut sebagai penelitian kuantitatif, kekuatannya pada instrumen penelitian. Oleh sebab itu, sebelum instrumen itu digunakan untuk menjaring data yang diperlukan, peneliti harus melakukan validasi terhadap instrumen yang akan digunakannya itu, baik validitas konten, konstruk, maupun validitas empirik.

Inilah karakteristik kerja penelitian, yang berbeda dengan kerja-kerja akademik lainnya, karena dalam penelitian ada prosedur kerja yang hampir semua akademisi telah menyepakatinya sebagai prosedur yang harus dilalui oleh siapapun dalam melakukan penelitian. Jika prosedur tersebut tidak dipenuhi, atau dipenuhi dengan cara yang salah, maka kesimpulannya akan ditolak oleh masyarakat akademis sendiri. Demikian juga dengan penelitian kebijakan, atau problem solving, jika peneliti menempuh prosedur yang salah, maka hasil-hasilnya tidak akan diterima oleh para pemakai, karena bisa menyesatkan.

B. Fungsi-Fungsi Penelitian

Penelitian harus menghasilkan teori, walaupun mungkin sebagai hasil terhadap pengujian teori oleh data, atau hasil perumusan teoretik dari data setelah dilakukan validasi berulang-ulang. Teori-teori hasil penelitian tersebut bisa berupa rumusan ilmiah murni yang tidak diorientasikan untuk perbaikan aspek tertentu, atau pengembangan teknologi tertentu atau rumusan-rumusan solusi terhadap masalah yang diteliti. Dengan demikian, akhir dari sebuah penlitian adalah rumusan teori hasil penelitian, yang secara umum harus memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut (Ary,2004; 26):

1. Teori harus dapat menerangkan fakta fakta hasil pengamatan yang ada hubungannya dengan suatu masalah. Teori sebaiknya juga harus dapat menjelaskan kenapa-nya gejala yang sedang diteliti.

2. Teori harus konsisten dengan fakta yang diamati dan dengan kerangka pengetahuan yang sudah mapan. Teori harus dapat dirumuskan dengan efisien dalam menerangkan fakta-fakta yang berhasil dikumpulkan.

3. Teori harus teruji oleh data, dan dapat memberi ramalan yang akan terjadi dengan penerapan teori tersebut dalam kenyataan.

4. Teroi harus merangsang penemuan baru dan menunjukkan bidang-bidang baru yang perlu diteliti.

Teori hasil peelitian tersebut beragam sesuai tujuan penelitiannya, apakah teori tersebut semata evaluasi, justifikasi atau pengembangan teori baru dalam bidang ilmu tertentu, yang akan bermanfaat untuk memperkaya khazanah keilmuan yang pada gilirannya akan mampu dibangun konstruksi keilmuan yang holistik dan sistematis, sebagai akumulasi hasil-hasil penelitian, apakah penyempurnaan cabang keilmuan yang sudah ada, atau mengembangkannya. Kemudian teori hasil penelitian juga bisa berbentuk temuan-temuan teknologi baru atau solusi terhadap sebuah permasalahan sosial yang bisa diaplikasikan langsung oleh para pemangku kepentingan.

Dalam konteks pengembangan ilmu, Richard J Shavelson dan Lisa Towne dalam bukunya Scientific Research in Education menegaskan, banyak orang skeptis dengan aktifitas penelitian dalam bidang ilmu pendidikan akan mampu mengakumulasi pengetahaun tentang teori-teori baru dalam bidang pendidikan. Akan tetapi, menurut keduanya, aktifitas keilmuan seperti seminar, diskusi dan perdebatan di kalangan para peneliti , para pengambil kebijakan, praktisi dan masyarakat, secara kritis telah menguji hasil-hasil penelitian yang menghabiskan uang banyak, merupakan karakter pengembangan ilmu yang dibangun melalui proses saling kegiatan ilmiah dengan pembahasan, kritik dan masukan-masukan dari berbagai kalangan, sehingga akan terlahir teori-teori baru dalam bidang ilmu pendidikan (Shavelson dan Towne, 2002: 29) dan bidang-bidang keilmuan lainnya.

Semua ilmu yang telah tersusun secara holistik dan sistematis, merupakan akumulasi hasil penelitian, yang telah dikritik, dibahas dan dipertimbangkan, sehingga menjadi teori yang kemudian memiliki legitimasi jika telah dikutip dan dipertimbangkan untuk dijadikan rujukan dalam pengembangan berbagai kebijakan publik yang mempengaruhi masyarakat banyak. Akan tetapi, jika teori itu, terus dikritik dan tidak mampu bertahan, serta tidak memiliki legitimasi empirik, maka teori-teori tersebut akan hilang dengan sendirinya. Dengan demikian, lahirnya teori dalam seluruh bidang ilmu merupakan hasil sebuah penelitian, dan hilangnya teori dari diskursus akademik, dari kebijakan dan dari kenyataan empirik, juga karena hasil penelitian yang melakukan pengujian terhadap validitas teori tersebut, setelah diuji secara empirik.

Pada akhirnya Shavelson dan Towne menegaskan bahwa pemahaman saintifik adalah sebuah kombinasi pengetahuan yang terus berkembang untuk membangun sebuah bangunanilmu yang tersusun secara sistematis. Kemudian bahwa akumulasi, kombinasi yang membentuk banguan ilmu itu terbentuk oleh sebuah proses inquiry yang panjang, yang tidak saja peneliti terikat oleh sebuah disain penelitian yang sama atau serumpun masalah, tapi merupakan kombinasi yang dinamis dari penelitian yang dilakukan secara bebas oleh para peneliti (Shavelson dan Towne,2002, 39) . Perkembangan ilmu sangat dipengaruhi oleh proses panjang penelitian, perdebatan para peneliti, sehingga teori-teori hasil penelitiannya sangat kuat dan bisa diterima secara rasional oleh para akademisi lain. Penelitian dengan orientasi pengembangan teori dan keilmuan ini, lazim disebut sebagai basic research, atau di Indonesia populer dengan penelitian murni.

Sebagai ilustrasi, bahwa dalam bidang pendidikan, lahirnya teori pembelajaran transformatif yang populer pada tahun 1970-an, merupakan hasil penelitian, sehingga ditemukan format pengajaran yang populer dengan nama Prosedur Pengajaran Sistem Instruksional (PPSI), kemudian dikembangkan model Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), dan kini dikembangkan model pembelajaran partisipatif, juga diawali dengan penelitian evaluatif. Mustahil model-model itu bisa dibangun secara rapi, sistematis, holistik dan aksiologis, tanpa diawali dengan penelitian terlebih dahulu, apakah uji coba, ataupun penelitian-penelitian lainnya. Michael Quinn Patton menegaskan, bahwa ketika suatu kebijakan atau sebuah model dalam pembelajaran akan dievaluai efektifitasnya dan keterpakainnya secara empirik, maka harus dilakukan evaluasi untuk menganalisis kelemahan-kelemahannya, dan saran-saran perbaikan yang sesuai dengan kebutuhan empirik di lapangan. Evaluasi yang dilakukan dengan sistematis melalui pengumpulan data secara benar, lalu dianalisis, maka proses tersebut termasuk kategori penelitian evaluatif (Patton,1990: 11). Hasil penelitian tersebut akan mengkritik teori, dan akan menghasilkan perbaikan bangunan teori baru yang lebih implementatif, lebih relevan dan sesuai dengan variabel empirik sehingga lebih implementatif.

Kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh Wolf-Michael Catenhusen State Secretary German Federal Ministry for Education and Research, dalam sebuah tulisannya menyambut science forum tahun 2004 di Johannesburg, dengan judul The Significance of Research and Education for Renewable Energies, bahwa ekspansi energi pada sumber-sumber baru menuntut teknologi tinggi dan melahirkan tantangan sosial yang hanya bisa diatasi dan diselesaikan dengan usaha-usaha keras proses penelitian (Caten-husen,2004: 10). Penelitian juga menurut beliau memiliki signifikansi untuk pengembangan ekonomi, pemasaran produk barang da jasa, medernisasi untuk mengembangkan masyarakat menjadi bangsa kreatif, memiliki enterpreneurship yang memiliki daya saing, yang semuanya menurut beliau berkorelasi antara pengembangan teknologi, penelitian dan pendidikan (Catenhusen,2004: 12).

Dengan demikian, penelitian sangat bermanfaat dan memiliki fungsi yang sangat kuat dalam pengembangan teknologi yang bermanfaat untuk orang banyak, lalu pengembangan masyarakat menuju cita masyarakat kreatif, riset pemasaran dengan fokus pengembangan teknik-teknik pemasarana produk barang dan jasa, sehingga masyarakat terus berkembang dan terinspirasi serta terbentuk dengan hasil-hasil penelitian. Akan tetapi, Catenhusen sebagaimana terpapar dalam papernya lebih menekankan pada penelitian-penelitian terapan yang dapat secara langsung bermanfaat bagi para pengguna dan juga masyarakat banyak. Beliau tidak berbicara tentang basic research yang menghasilkan teori-teori ilmiah, tapi penelitian-penelitian yang banyak dikembangkan oleh institusi-institusi Research and Developmnet (R & D) di perusahaan-perusahaan besar, yang fokusnya sangat spesifik, hasilnya adalah temuan-temuan Teknologi Tepat Guna (TTG), yang langsung bisa diterapkan oleh institusinya, atau penelitian untuk pemberdayaan potensi-potensi masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian pemerintah.

Kendati demikian, Gilles Capart dari European Universities Association (EUA) Hamburg, menegaskan terdapat korelasi langsung antara transfer pengetahuan dengan penelitian yang excellence dan memperoleh rekognisi dari para pemakai, kekuatan dan kualitas penelitian yang dilakukan saintis di universitas akan menarik bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan kolaborasi antara universitas dengan industri. Sangat sulit untuk komersialisasi penelitian, jika penelitian yang dihasilkan oleh sebuah universitas belum excellence (Capart,2006). Bahkan kini ada paradigma baru bagi perusahaan-perusahaan besar, bahwa mereka pada umumnya terbuka terhadap berbagai inovasi yang ditawarkan universitas melalui kolaborasi penelitian. Demikian pula di Indonesia, kini sangat terbuka kesempatan bagi universitas-universitas untuk melakukan kerjasama multiyears dengan perusahaan-perusahaan untuk melakukan partenrship jangka panjang, sehingga dua instiutusi yang memiliki ekspektasi bagi masyarakat itu, menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan sustainabel.

Berbagai keuntungan dari kolaborasi penelitian ini, sebagaimana dikemukakan oleh Capart, adalah sebagai berikut (Capart,2006).

1. Pengakuan masyarakat akan kompetensi universitas dalam melakukan penelitian yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, yang pada akhirnya akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap universitas, sehingga akses pembiayaan semakin terbuka.

2. Menarik banyak pihak untuk melakukan penelitian kolaboratif, sehingga memperbesar sumber pembiayaan bagi universitas.

3. Menarik bagi para saintis di universitas untuk melakukan penelitian profesional mereka, sehingga semakin memperoleh pengakuan akan kepakarannya, dan semakin terbuka kesempatan dan karirnya.

4. Dinamika para saintis dalam melakukan penelitian kolaboratif dengan berbagai perusahaan swasta serta institusi lainnya, juga akan menarik bagi para calon mahasiswa untuk masuk dan bergabung di universitasnya.

Kemudian, salah satu fungsi penting dari penelitian adalah untuk melahirkan dan merumuskan kebijakan publik. Kendati kebijakan bisa saja dilahirkan dan dirumuskan berdasarkan common sense para pejabat dan para pengambil keputusan sendiri, namun untuk meminimalisasi resistansi kultural terhadap kebijakan tersebut, sangat bijak jika kebijakan-kebijakan publik yang akan berlaku untuk masyarakt luas itu, diawali dengan penelitian, apakah survey kebutuhan publik terhadap tawaran kebijakan tersebut, atau action research untuk membangun rumusan substansi kebijakannya itu sendiri. Penelitian kebijakan adalah penelitian yang dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi secara optimal dalam rangka merumuskan keputusan-keputusan-keputusan strategis tentang berbagai aspek kehidupan sosial, sehingga menjadi acuan dalam pengembangan berbagai program aksi yang relevan untuk mencapai sebuah tujuan. Penelitian kebijakan senantiasa berhubungan dengan maksimalisasi pengumpulan data untuk dapat memetakan berbagai alternatif keputusan untuk ditetapkan sebagai sebuah keputusan strategis dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan, dan lebih jauh dapat menjadi acuan untuk pengembangan program-program aksi yang akan membawa kemajuan (Majchrzak, 1984: 12).
Definisi di atas, mereflkesikan empat aspek penting dalam penelitian kebijakan, yakni basic social research, yakni bahwa penelitian kebijakan tetap merupakan sebuah penelitian yang harus mengikuti presedur akademik, kemudian technical social research, yakni bahwa penelitian kebijakan harus mampu merumuskan berbagai kebijakan strategis yang bisa dikembangkan rumusan-rumusan teknis yang secara terus menerus dapat diimplementasikan dalam kehidupan untuk terus meminimalisasi berbagai persoalan sosial, dievaluasi, direvisi dan terus diperbaiki. Kemudian, penelitian kebijakan juga harus merefleksikan policy research, yakni perumusan kebijakan berdasarkan data empirik, sehingga kebijakan tersebut membumi dalam kehidupan nyata, tidak terdapat resistensi dan kesenjangan antara kebijakan dengan realitas empirik dalam kehidupan. Terakhir penelitian kebijakan harus dilakukan komprehensif, yakni bahwa penelitian kebijakan harus dilakukan dengan data komprhensif, rumusan keputusan yang strategis, yang dapat diimplementasikan dalam situasi dan pelaksana yang beragam.
Penelitian kebijakan memiliki karakteristik yang membedakannya dengan penelitian pengembangan teori atau pengujian teori. Setidaknya ada lima karakteristik penelitian kebijakan, yakni:
1. Memiliki fokus yang multidimensional
2. Bersifat induktif empirik
3. Berorientasi ke depan, dengan memperhatikan kejadian lalu
4. Meresponi permintaan dan kebutuhan pemakai
5. Secara eksplisit memperlihatkan perhatian pada nilai hasil yang akan diperoleh atau dicapai dari implementasi kebijakan tersebut
Penelitian kebijakan harus memiliki rumusan fokus yang multidimensional, yakni setiap fokus harus diikuti dengan perumusan variabel-variabel yang komprehensif, karena setiap masalah dalam kehidupan sosial, memiliki keterkaitan dengan masalah yang lain. Seperti rendahnya daya saing SDM bangsa yang mengindikasikan rendahnya kualitas pendidikan, terkait dengan kualitas guru, rendahnya penghasilan guru, kurikulum yang tidak efisien, budaya belajar serta berbagai variabel lain yang terkait dan berkontribusi terhadap kualitas hasil belajar. Dengan demikian, penelitian kebijakan tidak bisa dilakukan parsial, karena akan meahirkan rumusan kebijakan yang tidak bijak, karena kurang data dan informasi.
Kemudian, penelitian kebijakan bersifat induktif-empirik. Penelitian uji teori, atau perumusan teori sebelum memperoleh data yang lazim disebut sebagai penelitian uji hipotesis, nampaknya kurang dapat digunakan, karena peneliti diharapkan akan memperoleh kesimpulan berdasarkan data empirik yang diamatinya, dan sebaliknya peneliti (disarankan untuk tidak) merumuskan kebijakan hipotetik berdasarkan kajian teorinya, atau berdasarkan common sense-nya, untuk diuji oleh data, karena kebijakan yang diturunkan seperti itu, seringkali resistan di masyarakat, tidak bisa diimplemen-tasikan, atau setidaknya sukar untuk berpenetrasi dalam institusi-institusi sosial. Kendati demikian, tidak berarti, bahwa penelitian kebijakan harus bersifat verstechen mutlak tanpa pengukuran sama sekali, karena penelitian fokus berbasis fenomena untuk dimaknai dan diinterpretasi hanya mampu memberikan penjelasan-penjelasan terhadap fenomena tersebut, dan tidak bisa dilakukan generalisasi. Oleh sebab itu, dilihat dari aspek epistimologinya, penelitian kebijakan termasuk induktif, tapi dilihat dari aspek data yang diperlukannya, penelitian tersebut memerlukan jenis data yang bisa digeneralisasi, sehingga bisa dilakukan pemberlakukan kebijakan ke luar daerah sampel.
Di samping itu, penelitian kebijakan harus berorientasi ke depan, yakni penelitian kebijakan harus mampu melahirkan rumusan-rumusan kebijakan strategis yang dapat membawa perubahan di masa depan. Akan tetapi, penelitian kebijakan harus berpijak pada dialektika sosial, karena tidak ada perubahan yang terjadi tiba-tiba, tanpa ada kejadian yang mendahuluinya, sebagai penyebab terjadinya perubahan tersebut. Oleh sebab itu, perumusan kebijakan harus secara cerdas menganalisis kejadian hari ini dan kemarin, untuk merumuskan perubahan yang akan terjadi besok. Sejalan dengan karakteristiknya ini, maka sebagaimana karakter ke-dua yang menuntut data terukur, karakter ke-tiga justru menuntut bahwa penelitian kebijakan harus mampu membuat analisis prediktif, yang tidak sekedar bisa difahami oleh logika dan common sense, tapi juga sudah terukur secara akurat, bahwa implementasi kebijakan-kebijakan tersebut, akan membawa perubahan-perubahan yang nyata.
Penelitian kebijakan harus berorientasi permintaan pemakai, yakni rumusan-rumusan kebijakan hasil penelitian harus sesuai dengan kebutuhan dan permintaan para pemakai kebijakan tersebut, serta mudah mempengaruhi orang lain sehingga bisa dengan mudah pula terlihat perubahan dan kemajuan. Oleh sebab itu, variabel yang diamati harus bisa menghasilkan kebijakan yang implementatif, mudah dikontrol dan bahkan bisa diintervensi. Umpamanya, kebijakan untuk pengembangan demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan, dengan mendorong sekolah untuk mengembangkan kuriku-lumnya masing-masing, disain pengembangan kurikulum tersebut mudah difahami oleh setiap satuan pendidikan, mudah dikontrol, dan bisa dievaluasi kontribusinya dalam peningkatan kualitas hasil belajar.
Kemudian, kebijakan juga harus mampu memperhatikan keragaman pemakai. Mereka memiliki perbedaan-perbedaan dalam ekspektasi, agenda, nilai lebih, asumsi dan kebutuhan-kebutuhan. Kendati tidak mudah, tapi penelitian kebijakan, harus secara dini memperhatikan keragaman-keragaman tersebut, sehingga ketika kebijakan tersebut diturunkan, tidak terjadi resistansi yang tidak produktif. Penelitian kebijakan harus mampu menyajikan rumusan-rumusan prediktif tentang nilai-nilai lebih dari implementasi kebijakan tersebut bagi masyarakat. Sajian nilai-nilai lebih tersebut harus dituangkan secara akademis, yakni rasional atau bisa dinalar, berbasis data dan terlihat kohernsi logisnya, sehingga para pemakai bisa mengapresiasi kebijakan tersebut dengan logika dan kesadarannya.
Sesuai dengan uraian dan penjelasan di atas, penelitian memiliki fungsi yang sangat ragam, dengan pengembangan metodologi yang sangat kompleks sesuai kebutuhan penelitiannya itu sendiri. Setidaknya ada tiga fungsi penelitian yang sudah dijabarkan dalam pembahasan ini, yaitu:
1. Penelitian untuk pengembangan ilmu. Bahwa struktur sebuah ilmu merupakan hasil akumulasi temuan-temuan penelitian, yang sudah dipublikasikan, diperdebatkan, lalu dibangun dalam sebuah struktur yang sistematis, dan mampu memberikan penjelasan tentang hakikat keilmuannya, proses perumusannya serta aplikasi keilmuannya itu dalam kehidupan nyata. Jika tiga kriteria tersebut sudah dipenuhi, maka hasil-hasil temuan penelitian tersebut telah memberi sumbangan terhadap temuan keilmuan baru. Dengan demikian, aktifitas penelitian, khususnya basic research yang semata melahirkan teori umum, merupakan sesuatu yang memiliki peran sangat signifikan dalam pengembangan ilmu.
2. Penelitian untuk penemuan teknologi tepat guna, apakah dalam manufaktur, industri, pertanian, perdagangan atau lainnya, yang penelitian ini bertolak dari kebutuhan empirik di lapangan dan hasilnya segera diserahkan pada para pemangku kepentingan untuk diimplementasikan, sehingga akan berkontribusi terhadap perubahan dan kemajuan.
3. Penelitian untuk menyelesaikan masalah sosial, apakah dalam ikatan dan hubungan sosial kemasyarakatan, kehidupan keagamaan, hubungan antar umat beragama, atau masalah-masalah lain di masyarakat, apakah masyarakat perkotaan atau pedesaan. Hasil penelitian tersebut, direkomendasikan langsung pada para pemangku kepentingan untuk diimplemen-tasikan.

C. Antara Deduktif dan Induktif

Ilmu itu berfungsi menjelaskan hukum alam, fenomena sosial, dan ilmu juga menjelaskan maksud-maksud pesan perenial dari wahyu Ilahy. Peneliti berfungsi menemukan penjelasan-penjelasan tersebut, walaupun penjelasan-penjelasan tersebut kemudian dikemas menjadi pernyataan-pernyataan teoretik. Dalam penjelasan Wikipedia, sebuah ensiklopedia digital, edisi tahun 2008, dijelaskan, bahwa menurut Auguste Comte (1798-1857) ilmu telah berkembang dalam tiga fase teologis, metafisik, saintifik (Wikipeia,2008). Pada fase teologis, semua penjelasan tentang fenomena alam semesta, fenomena sosial merupakan otoritas gereja dengan pendekatan perenial, sehingga kebenaran mutlak milik gereja. Kemudian, ketika memasuki masa pencerahan setelah revolusi Francis, berkembang fase rasionalisme yang berkeyakinan bahwa manusia dilahirkan dengan hak yang tidak bisa diambil alih oleh siapapun. Dengan demikian, jika masyarakat telah melakukan sesuatu perbuatan, penjelasan tentang fenomena ssial tersebut tidak bisa ditanyakan pada gereja, atau dijelaskan secara rasional spekulatif, tapi tanya pada masyarakat sendiri. Akan tetapi, legika empirisme Comte belum bisa melepaskan diri dari rasionalisme yang sudah berkembang mendahuluinya, sehingga logika positivisme dibangun sebagai kombinasi antara empirisme dan rasionalisme (Wikipedia,2008), yakni bahwa rumusan pengetahuan tidak semata disimpulkan dari hasil observasi empirik, tapi harus dikonfirmasi dengan teori-teori yang mendahului.
Diskursus tentang bagaimana pengetahuan itu dirumuskan telah melahirkan wacana tentang epistimologi kelmuan, yang secara praksis sering tidak bisa dibedakan dengan metodologi, padahal menurut William MK Trochim, keduanya memiliki perbedaan distinktif, epistimologi diartikan sebagai how we come to know, sedangkan metodologi is focused on the specific ways (Trochim,2006: 25). Trochim ingin membedakan antara posisi epistimologi dengan metodologi, walaupun pada akhirnya keduanya berkelindan, karena metodologi berjalan dalam epistimologinya, dan epistimologi keilmuan tidak akan bisa bekerja tanpa langkah-langkah metodologis secara detail. Epistimologi lebih bereskalasi pada wilayah filsafat keilmuan dalam konteks bagaimana seseorang mencapai pada fase tahu, sementara teknik-teknik yang dikembangkan dalam proses itu, disebut dengan metodologi.
Salah satu falsafat yang berkembang dan menjadi anti tesis terhadap falsafat rasionalisme metafisik yang spekulatif, adalah falsafat positivisme yang dikembangkan Auguste Comte, yang mengusung paradigma, bahwa pengetahuan harus didasarkan pada hasil pengamatan terhadap pengalaman yang sudah diaffirmasi pada teori melalui metoda yang saintifik (Wikipedia,2008). Paradigma keilmuan tersebut dikembangkan dari sebuah teori besar bahwa semua manusia memiliki hak sejak kelahirannya yang tidak bisa dihilangkan oleh siapa saja, tidak bisa dikelola oleh kekuatan apapun juga. Hak tersebut melekat pada setiap orang, termasuk hak untuk melakukan apapun yang terbaik menurut mereka. Dengan demikian, dalam menjelaskan fenomena sosial, tidak bisa ditanyakan pada gereja, sebagaimana juga tidak bisa diinterpretasi oleh pemikiran rasional metafisi yang spekulatif, tapi sebaliknya harus diobservasi, diamati dan digali informasi-informasi empirik dari para pelakunya sendiri. Hanya saja, hasil observasi tersebut harus diaffirmasikan pada teori yang sudah ada, dan sudah dirumuskan sebelum observasi dilakukan. Mereka menyebutnya sebagai scientific metheod.
Falsafat positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte telah melahirkan sebuh pendekatan studi yang diawali dengan teori, lalu memasuki data yang hasil pengamatan data tersebut diaffirmasikan pada teori, atau dalam praksisnya data tersebut digunakan untuk menguji teori. Jika ternyata bahwa hasil observasi tersebut sejalan dengan teori, maka teori tersebut diterima dan memperoleh legitimasi empirik. Cara kerja seperti ini lazim disebut sebagai pendekatan deduktif. Pendekatan deduktif kemudian melahirkan sebuah paradigma, bahwa dunia bisa difahami, diteorisasi, diprediksi, dan bahkan bisa direkayasa dan dikontrol. Dengan demikian, aliran positivisme, sebagaimana William MK Trochim sangat mempercayai empirisme dan mereka juga mengembangkan metode experimen sebagai pendekatan kunci dalam scientific method untuk melahirkan teori-teori baru yang bisa diimplemen-tasikan dalam kehidupan nyata untuk melakukan berbagai perubahan dan perbaikan (Trochim,2006:26).
Falsafat positivisme ini sangat kuat pengaruhnya dalam pengembangan penelitian sosial, dan bahkan sampai kini, masih terus menjadi model dalam penelitian-penelitian ekonomi, politik, pendidikan dan fenomena sosial lainnya. Kendati demikian, paradigma positivisme ini dikritik oleh aliran critical realism yang populer dengan nama aliran post-positivism. Aliran ini dipelopori oleh bebera ilmuwan di Amerika dan Ingris, di antaranya; Roy Wood Sellars, George Santayana, Arthur Lovejoy, Bertrand Russell, C. D. Broad, Bernard Lonergan, Roy Bhaskar (Wikipedia,2008). Salah satu kritik aliran Critical realism terhadap aliran positivism adalah, tentang teori bahwa prilaku manusia itu bisa difahami, diteorisasi, diprediksi dan bisa direkayasa dengan experimen. Menurut aliran Critical realism, realitas itu independen dari pemikiran siapapun (Trochim,2006: 27). Dengan demikian fenomena itu hanya bisa dijelaskan, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa direkayasa. Kemudian, kritik kedua yang juga disampaikan oleh aliran critical realism adalah, bahwa observasi itu mungkin salah, dengan demikian, teori itu harus bisa direvisi. Padahal aliran positivism meyakini bahwa data yang sudah terjaring oleh instrumen, selama semua prosedur dilalui dengan benar, maka data yang diperoleh sudah benar dan sudah bisa diolah untuk mengaffirmasi teori. Sementara aliran post-positivism atau critical realism senantiasa melakukan kritik terhadap data dengan melakukan triangulasi.

Salah satu tokoh besar dalam aliran post-positivism adalah Roy Bashkar. Beliau mengkritik metodologi yang dikembangkan aliran positivisme, salah satunya, karena aliran positivisme menyamakan prosedur kajian terhadap alam dengan masyarakat, padahal keduanya memiliki karakteristik kehidupan yang berbeda. Kritik paling kontroversial Bashkar terhadap positivisme adalah, menurutnya, masyarakat tidak diciptakan oleh manusia, tidak bisa direproduksi dan ditransformasi oleh orang lain. Menurutnya, masyarakat memiliki dua karakter, masyarakat adalah sebuah kondisi yang pernah ada, dan akan terus mereproduksi perubahan sebagai agensi kemanusiaan (Kaboub,2001). Bashkar berada pada psosisi yang berlawanan dengan positivism yang berprinsip, bahwa masyarakat bisa dibentuk, sementara post-positivism yang diawakili bashkar berpendapat, bahwa masyarakat melakukan aktivitas dengan kesadarannya, tapi dengan tidak disadari mereproduksi dan kebetulan melakukan transformasi struktur pemerintahan.

Dua aliran filsafat positivism dan post-positivism telah melahirkan dua pendekatan penelitian yang berbeda, deduktif dan induktif. Aliran positivism yang memiliki paradigma bahwa masyarakat bisa dibentuk, direkayasa dan dikontrol, bahkan perubahan-perubahan sosial bisa direncanakan dengan melakukan eksperimen yang hasilnya bisa diimplementasikan pada kelompok yang lebih besar. Sementara aliran post-positivism melahirkan pendekatan penelitian induktif, yakni fenomena perubahan yang terjadi pada masyarakat itu independent, tidak bisa direkayasa, tidak bisa dikontrol. Peneliti hanya bisa menyimpulkan dengan cara seksama melalui pengujian berulang-ulang leawat triangulasi. Peneliti tidak bisa dengan sengaja melakukan transformasi sosial, mendisain perubahan. Dua pendekatan ini telah melahirkan metode yang berbeda, yakni metode kuantitatif yang melakukan pengujian teori dengan menggunakan angka yang sangat terukur, baik datanya itu sendiri sudah berbentuk angka-angka maupun hasil proses kuantifikasi dari data yang buka angka. Kemudian metode kualitatif, yang lebih mengandalkan pemaknaan, yakni memaknai fenomena untuk kemudian diinterpretasi, dan diakhiri dengan perumusan teori hasil penelitian setelah melalui proses validasi berulang-ulang, sehingga tidak terbantah lagi oleh data.

Dua pendekatan dalam penelitian ini, memiliki rosedur dan tahap-tahap kerja yang berbeda, yang perbedaan tersebut bisa digambarkan sebagai berikut. Gambaran tahap-tahap yang terlihat dalam ilustrasi di bawah ini, memperlihatkan bahwa penelitian deduktif diawali dengan teori, yakni sebuah rumusan teoretik hasil kajian pustaka yang disimpulkan sebagai jawaban terhadap masalah penelitian penelitian yang dirumuskan peneliti sebagai refleksi berfikir kritis peneliti dalam meresponi berbagai persoalan sosial yang dialami peneliti. Akan tetapi, berbasis sebuah keyakinan bahwa perubahan sosial itu bisa diawali dengan konsep dan pemikiran-pemikiran manusia, maka peneliti merumuskan teori terlebih dahulu sebelum memasuki data empirik.

Rumusan teori tersebut dibuat sedemikian rupa yang lazim disebut sebagai hipotesis, karena masih perlu pembuktian dalam kenyataan empirik. Setelah itu, peneliti melakukan pengujian atau melakukan observasi sehingga memperoleh data untuk menguji teorinya. Data yang diperoleh peneliti digunakan untuk konfirmasi, apakah teori yang dirumuskannya diterima atau ditolak oleh data.

sedangkan penelitian induktif dimuali dari tahap yang berlawanan, yakni dimulai dari data dan bergerak pada perumusan teori umum hasil penelitian. Akan tetapi, penelitian induktif harus dilakukan secara seksama dan berhati-hati agar kesimpulan hasil penelitiannya tidak terbantah oleh data yang belum terobservasi oleh peneliti. Oleh sebab itu, dalam alur yang tergambar di atas, ada tahap perumusan hipotesis tentatif, yakni perumusan kesimpulan sementara, hasil proses memaknai data yang telah teramati, diinterpretasi dengan mempertimbangkan teori-teori yang telah ada, lalu disimpulkan. Akan tetapi, kesimpulan tersebut harus diuji lagi oleh data melalui proses triangulasi, sehingga kesimpulan akhirnya menjadi sangat kuat.

Tidak ada komentar: