Minggu, 07 Juni 2009

PENELITIAN KUALITATIF DALAM PENDIDIKAN
By : Dede Rosyada
8 Juni 2009

A. Karakteristik Penelitian Kualitatif

Sejalan dengan teori kebenaran ilmiah yang membedakan antara teori koherensi dengan teori korespondensi, maka pendekatan dalam penelitian juga kemudian dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektif atau pendekatan ilmiah (saintifik) diterapkan dalam penelitian yang sistematik, terkontrol, empiris, dan kritis atas hipotesis mengenai hubungan yang diasumsikan di antara fenomena alam (Mulyana,2002: 23). Pendekatan ini berprinsip bahwa kebenaran itu akan diperoleh jika peneliti dapat mengeliminir campur tangan manusia dalam penelitian, yakni dalam pengumpulan, pengolahan dan analisis data. Data diakses bukan oleh manusia, tapi oleh instrumen yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya, sehingga intervensi manusia dapat diminimalisir dalam menseting data. Apapun adanya data, itulah yang diolah dan disim-pulkan, walaupun kemudian akan menimbulkan ketidak sukaan pihak-pihak tertentu.
Pendekatan obyektif menggunakan teori koherensi dalam merumuskan temuan-temuan baru hasil penelitiannya. Mereka memulai dengan masalah, lalu dikembangkan teori berbasis teori-teori yang telah ada, kemudian dirumuskan hipotesisnya, dirancang berbagai teknik untuk menjaring data yang dibutuhkan untuk menguji hipotesisnya. Pendekatan obyektif yang hipotetico-deductive ini menggunakan aksioma-aksioma sebagai titik tolak kebenarannya, untuk ditarik pada fenomena lapangan dengan menggunakan data yang teramati oleh indra penglihatan dan pendengaran. Oleh sebab itu pulalah mereka disebut aliran obyektif, karena dalam pandangan aliran ini, obyek-obyek, prilaku-prolaku dan peristiwa-peristiwa yang eksis dalam kenyataan dapat diamati dengan pancaindra (penglihatan, pendengaran, perabaan, perasa dan pembau). Data yang teramati tersebut kemudian dianalisis, diukur dan diramalkan.
Aliran obyektif ini sejalan dengan pandangan aliran falsafat empirisme, yang mengatakan bahwa semua pengetahuan manusia dibangun dan dikembangkan dengan pengalaman indrawinya. Dan mereka berprinsip bahwa eksplanasi harus dilakukan berda-sarkan data yang terlihat, terdengar, teraba, terasa dan tercium. Tidak benar dalam pandangan mereka jika eksplanasi itu senantiasa dikaitkan dengan Tuhan, karena pernya-taan tersebut tidak bisa diukur, seperti jika seorang penerbit menyatakan, bahwa penurunan omset penjualan buku itu karena taqdir Tuhan. Pernyataan tersebut tidak benar, karena tidak berdasarkan data, dan tidak teramati, dan tidak bisa diukur. Penjelasan yang benar itu, jika mereka sudah melakukan analisis dengan menggunakan teori-teori, dibangun hipotesis, lalu dikumpulkan data untuk menguji hipotesis tersebut. Pendekatan obyektif yang berba-sis teori koherensi ini akan melahirkan metode penelitian kwantitatif, yang lebih menekan-kan pada pengukuran dan peramalan, serta menggunakan pola penghitungan dengan rumus-rumus statistik.
Sementara pendekatan subyektif, sebagaimana dikemukakan oleh Dedy Mulyana (Mulyana,2002: 32-33) bahwa penelitian itu harus dilakukan untuk memberi penjelasan terhadap berbagai prilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, karena manusia berbeda dengan binatang, kalau binatang sekedar makan, minum, tidur, dan melakukan reproduksi, tapi tidak bisa berfikir, jangankan gagasan dan rencana besok atau lusa, berfikir hari ini saja tidak mampu. Binatang hanya dapat mengambil kesimpulan dari pengalaman-pengala-mannya yang telah berulang kali mereka lalui. Oleh sebab itu, prilaku-prilaku manusia itu bisa dijelaskan, tapi tidak mudah menjelaskannya. Jika ada siswa melakukan tawuran antar sekolah, prilaku mereka tersebut bisa dijelaskan, tentang mengapa mereka melakukan tawuran, apa penyulutnya, apa target yang mereka inginkan dengan tawuran, dan apa yang mereka harapkan dari aksinya itu, semuanya itu bisa dijelaskan, tapi tidak mudah menjelaskannya, karena mereka memiliki fikiran, kepercayaan, keyakinan, keinginan, niat, maksud dan tujuan. Semua itu memberi makna terhadap tindakan dan perbuatan mereka. Dan untuk mengetahuinya, peneliti harus mampu mengorek semua informasi tersebut dari mereka sendiri, jangan didesign oleh peneliti sendiri. Oleh sebab itulah, pendekatan subyektif senantiasa menunutut peneliti untuk grounded, yakni turun dan hidup bergaul dengan mereka yang menjadi kelompok pengamatan, sehingga setiap saat dapat melihat tingkah laku mereka, dapat mendengar obrolan mereka, dan bisa mengetahui tujuan yang hendak mereka capai, target yang diinginkan, sehingga bisa menyimpulkan karakter fenomena tersebut dan dapat merumuskan solusi penangannya.
Dalam pandangan subyektifis, realitas adalah sebuah proses kreatif yang memung-kinkan individu menciptakan apa yang ada “di luar sana”, yakni teori-teori atau aturan-aturan. Umpamanya, keteraturan hidup di alam semesta ini, dalam pandangan subyektifis adalah ciptaan manusia sendiri, bukan diciptakan sesuatu selain manusia. Dan manusia menjalani keteraturan tersebut adalah melaksanakan sesuatu yang mereka ciptakan, bukan menemukan keteraturan tersebut, lalu mentaati keteraturan. Dunia dengan segala yang ada di dalamnya tidak terstruktur, kalau pun terstruktur, manusialah yang menciptakan struktur tersebut, dan bukan struktur yang menciptakan prilaku manusia. Kemudian aliran subyektifis juga berpandangan bahwa prilaku manusia bersifat kontekstual, berdasarkan makna yang mereka berikan kepada lingkungan mereka. Dengan demikian, pendekatan subyektif lebih banyak melakukan penjelasan terhadap berbagai fenomena yang terjadi, kendati fenomena itu individual. Aliran subyektif atau humanities, lebih tertarik untuk menjelaskan berbagai prilaku masyarakat, kelompok, organisasi dan individual, daripada melakukan generalisasi dengan mereduksi berbagai fenomena yang tidak signifikan.
Kemudian aliran subyektif juga berpandangan bahwa prilaku manusia itu sangat kontekstual, mudah berubah dipengaruhi oleh interaksi sosial. Prilaku manusia juga polise-mik (multimakna), tidak mudah untuk diketahui apalagi diasumsikan, diteorisasi tanpa data. Realitas akan tetap dianggap nyata selama mereka bersepakat bahwa hal itu memang nyata bagi mereka. Manusia aktif membuat definisi terhadap prilaku dan lingkungan mereka, dan mereka juga mudah untuk mengubah prilakunya itu. Pendekatan subyektif atau humanities inilah yang akan melahirkan metode penelitian kualitatif, yang berbasis pada model peneli-tian verstechen, atau merumuskan makna dari prilaku manusia dalam kehidupan sosialnya.
Kualitatif adalah sebuah model penelitian yang prosedur dan metodologinya sangat spesifik, didasari teori korespondensi sebagai teori kebenaran ilmiahnya, serta sangat menghargai keragaman data lapangan tanpa tendensi untuk melakukan generalisasi. Dalam kualitatif, peneliti lebih terfokus untuk memaknai feomena, atau kejadian, baik fenomena atau kejadian itu umum dalam kehidupan sosial maupun sangat individual, semua mereka maknai, kendati amat langka. Mereka tidak bermaksud untuk mereduksi fenomena-fenomena yang sangat kecil pengaruhnya pada kehidupan sosial, tapi sebaliknya justru fenomena itu dikejar sebelum menghilang dari kehidupan masyarakat untuk dijelaskan pada masyarakat. Penelitian kualitatif memiliki lima karakter (Bogdan,2003: 4-6), yaitu:
1. Naturalistik; yakni bahwa penelitian kualitatif memiliki seting data yang aktual terakses dari sumbernya langsung oleh peneliti sebagai instrumen kunci dalam penelitian. Peneliti menghabiskan waktu-waktunya untuk beberapa lama di sekolah, keluarga, masyarakat atau tempat-tempat lain dari lokasi penelitian tersebut dilakukan. Bahkan sebahagian dari anggota peneliti membawa videotip, serta alat-alat rekaman lain untuk merekam berbagai kejadian penting. Dan data-data yang terekam tersebut tidak terbatas pada yang tercakup dalam rekaman tersebut, tapi ditambah juga dengan berbagai temuan serta pengetahuan peneliti dalam proses interaksi sosialnya dengan obyek yang diamati, dan bahkan bisa terjadi, data-data yang terekam tersebut terkritik oleh temuan-temuan lain dari peneliti. Untuk makna yang sama, Patton (Patton,1990: 39) menyebutnya sebagai naturalistic Inquiry; yakni penelitian yang dilakukan dalam kenyataan sosial sebenarnya. Peneliti tidak memanipulasi seting penelitian. Peneliti melakukan pengamatan terhadap kejadian yang benar-benar terjadi dalam kehdupan nyata, berbagai program yang dikembangkan masyarakat, hubungan dan interaksi sosial yang nyata terlihat serta teramati langsung oleh peneliti. Penelitian kualitatif ini benar-benar berorientasi penemuan dan memini-malisasi manipulasi seting penelitian, dan tidak ada pemaksaan seting penelitian yang dirancang sebelum penelitian itu dimulai. Penelitian kualitatif benar-benar memasuki kehidupan nayata tanpa direkayasa oleh peneliti sebelum penelitian dimulai sebagaimana dalam penelitian eksperimen, yang biasa menentukan kelas eksperimen dengan kualifikasi-kualifikasi yang sudah diatur jumlah serta seting penelitiannya diintervensi peneliti. Dengan demikian, dalam eksperimen peneliti tidak memperoleh kenyataan yang sebenarnya, karena yang teramati adalah situasi yang sudah dimanipulasi dengan rekayasa peneliti sendiri, sebelum penelitian dimulai. Sebagai ilustrasi, jika seorang peneliti hendak menjelaskan tentang tawuran siswa antar sekolah, maka dia harus datang ke sekolah tersebut, dan masuk ke dalam keas mereka, beristirahat dengan mereka, dan pulang bersama dalam rombongan mereka, lalu pulang ke perkampungan di mana mereka tinggal, sehingga bisa memperoleh banyak jawaban tentang prilakunya itu. Dan jika ada fenomena lain yang terkait dan menarik di luar lingkungan mereka, peneliti juga harus turun dan masuk dalam fenomena tersebut sehingga informasinya kian lengkap dan komprehensif. Mereka juga bisa meliput aktifitas kelas, mewawancarai para guru, kepala sekolah, serta pengawas, sehingga informasinya menjadi semakin lengkap, dan dapat memberikan penjelasan terhadap fenomena tersebut dengan benar, tidak parsial dan tidak bisa dibantah.
2. Deskriptif; Penelitian kualitatif adalah penelitian deskripstif, yakni penelitian yang menekankan pada penjelasan berbentuk uraian. Data-data yang dikumpulkan semuanya berbentuk data uraian kata-kata, gambar, dan sejenisnya, bukan berbentuk angka, dan tidak akan dikonversikan pada angka. Hasil akhir penelitian adalah kutipan-kutipan dari data untuk mengilustrasikan dan mensubstansikan pernyataan-pernyataan. Data-data yang dikumpulkan meliputi catatan hasil wawancara, catatan lapangan, foto, videotip, dokumen pribadi, memo dan berbagai catatan ofisial. Dalam proses analisis untuk memahami data tersebut, peneliti kualitatif tidak dibutuhkan untuk mereduksi data menjadi angka-angka, karena yang diperlukan adalah penjelasan bukan generalisasi. Pelaporan akhir penelitian kualitatif adalah laporan naratif, dan kalimat yang terurai sangat signifikan untuk diseminasi hasil-hasil penelitian sebagai penjelasan terhadap fenomena yang menjadi fokus penelitiannya. Dalam proses pengumpulan data kualitatif, peneliti harus agak cerewet dan rewel agar semua detail data bisa diakses dan diperoleh peneliti. Seringkali beberapa dari kita terkunci untuk memasuki dunia sebenarnya, lupa memasuki detail dari lingkungan sosial yang diamati, dan seringkali gagal untuk mencatat data yang sebenarnya penting sebagai bagian yang dapat memberi penjelasan terhadap fenomena yang ditelitinya. Penelitian kualitatif menuntut asumsi bahwa tidak ada data yang tidak bermakna, semua data yang ditemukan dan didapatkan bisa menjadi petunjuk potensial untuk memperoleh penjelasan yang komprehensif. Berbagai pertanyaan sepele tetap penting, seperti mengapa susunan bangku di dalam kelas berbentuk seperti ini, atau seperti itu, dan kenapa ada anak-anak yang memperoleh hak istimewa di kelas ini?, bagaimana siswa bisa memahami operasi komputer?, topik-topik apa yang disenangi siswa untuk diskusi di pagi hari jam pertama mereka masuk kelas, dan sebagainya. Berbagai pertanyaan tersebut sepele, tapi bisa jadi menjadi bahan-bahan penting untuk menjelaskan fenomena yang mereka amati.
3. Memperhatikan Proses; Peneliti kualitatif lebih memperhatikan dan mempedulikan proses bukan hasil, seperti bagaimana mereka menegosiasikan sebuah makna dalam sebuah prilaku?, bagaimana sebuah simbol bisa diaplikasi dalam kehidupan?, Peneliti kualitatif lebih memperhatikan proses sebuah fenomena itu terjadi, karena mereka mencari makna dari perbuatan tersebut agar bisa dijelaskan kepada publik, apa fenomena tersebut, kenapa terjadi, dan sebagaimnya. Penelitian kualitatif lebih menekankan proses bagaimana siswa menjadi pintar, apa yang mereka lakukan di dalam kelas, dan apa yeng mereka lakukan di luar kelas, di dalam rumah, di tempat-tempat para siswa berkumpul di luar rumah, semuanya mereka pelajari, sehingga bisa memberikan penjelasan terhadap fenomena tersebut. Kemudian interaksi guru dengan siswa dari hari ke hari juga dicatat, ditelusuri, diwawancarai, demikian pula dengan keterlibatan orang tua siswa di dalam keluarga, semua dicatat dan diwawancarai sehingga peneliti memperoleh jawaban dari fenomena yang diamatinya.
4. Induktif; Peneliti kualitatif melakukan analisis secara induktif. Mereka tidak mengumpulkan data untuk menerima atau menolak hipotesis yang dirumuskan sebelum pengumpulan data, tapi mereka mengumpulkan data untuk merumuskan hipotesis kerja, yakni rumusan-rumusan teori yang disimpulkan dari data yang masih terus diverifikasi dengan data, sampai tidak terkritik lagi oleh data dan hipotesis tersebut sudah menjadi teori baru yang ditemukan hasil penelitiannya. Dalam konteks ini Patton (Patton,1990: 44) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif dapat dilakukan untuk memperoleh kesimpulan umum dari berbagai data spesifik, baik untuk konteks penemuan baru dari sebuah penelitian eksploratif, maupun kesimpulan umum dari ber-bagai data spesifik sebagai hasil observasi terhadap obyek yang telah diteliti ber-ulang-ulang. Fenomena yang terobservasi atau diobservasi, sejauh masih dalam batas fokus pengamatan, bisa terus diperluas dari yang sudah direncanakan sebelum pengumpulan data. Analisis induktif tidak sekedar merumuskan kesimpulan umum dari berbagai data yang spesifik, tapi juga bisa menganalisis interelationship antar berbagai data yang tidak pernah terasumsikan sebelumnya. Berbagai wilayah kajian pendidikan dapat diamati dan dianalisis dengan pendekatan induktif, seperti evaluasi program-program sekolah dalam peningkatan kedisiplinan guru. Peneliti dapat mengamati berbagai aktifitas guru di sekolah yang terkait dengan pelaksanaan tugas-tugas keguruannya, tidak sekedar dalam berbagai variabel kedisiplinan yang telah dirumuskan sebelum pengumpulan data dimulai, tapi seluruh aktifitas pelaksa-naan tugas-tugas keguruannya. Analisis induktif bisa dilakukan dengan dua pende-katan unit analisis, yakni individu dan program. Ketika menjadikan individu sebagai unit analisis, pengamatan dilakukan terhadap berbagai pengalaman individual mereka, tanpa melakukan pembatasan dengan berbagai rumusan sebelum pengum-pulan data. Seluruh pengalaman individual yang terkait dengan kedisiplinan pelaksanaan tugas, sedapat mungkin dicatat dan dianalisis dan disimpulkan. Sementara jika program yang menjadi unit analisis, maka pengamatan diarahkan pada perancangan dan implementasi program-program tersebut pada berbagai unsur sekolah, organisasi atau masyarakat.
5. Memaknai; Penelitian kualitatif sangat menekankan pemaknaan. Makna setiap fenomena adalah milik pemiliki fenomena sendiri. Jadi kalau peneliti datang ke sekolah dan hendak mengetahui apa pendapat siswa tentang dirinya yang tidak belajar dengan baik di sekolahnya? Jawaban tentang belajar siswa tersebut ada pada siswa sendiri, dan peneliti hanya mencatat apa yang ia lihat dan apa yang ia katakan tentang belajar. Demikian pula dengan keterlibatan orang tua dalam belajar anaknya di sekolah, makna keterlibatannya itu hanya diketahui oleh orang tua sendiri. Oleh seba itu peneliti harus menanyakannya pada orang tua siswa sendiri. Demikian pula jika peneliti hendak mengetahui makna tawuran siswa atar sekolah, yang mengeta-hui makna tawuran tersebut adalah siswa sendiri. Oleh sebab itu, peneliti harus mencatat apa ia lihat dan mencatat apa yang ia dengar dari hasil interview dengan mereka. Fenomena yang teramati serta jawaban yang mereka kemukakan dalam interview tersebut merupakan data yang bisa ditafsirkan untuk kemudian disim-pulkan.
Di samping lima karakter yang telah dikemukakan di atas, menurut Moleong, penelitian kualitatif juga memiliki ciri-ciri lain sebagai berikut (Moleong,2000: 5-6).
1. Peneliti sebagai instrumen, yakni bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan mengamati langsung fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Peneliti mengamati fenomena dengan matanya sendiri, dan mendengar dengan telinganya sendiri, kemudian peneliti melakukan interview dengan obyek penelitian dengan menggunakan lisannya sendiri. Dengan demikian, peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen dalam penelitian. Cara ini, dalam pandangan aliran subyektifisme ini dianggap sebagai cara yang paling benar, karena instrumen dapat menyesuaikan diri pada sumber data. Ketika ingin melakukan wawancara, dia akan mengambil waktu yang paling tepat serta dengan cara yang paling rileks, sehingga obyek penelitian tidak terbebani dan tidak merasa terdesak. Dengan demikian, obyektifitas data sedemikian rupa bisa dijaga.
2. Disain penelitian yang bersifat dinamis dan sementara, yakni bahwa disain yang telah dipersiapkan, apakah pedoman observasi dan wawancara, serta berbagai fenomena yang harus diperhatikan dan dicatat, tidak rigid dan tidak kaku. Ketika sudah di lapangan bisa berubah sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Kenyataan ganda yang ada di lapangan tidak akan pernah terbayangkan oleh peneliti sebelum mereka terjun. Demikian pula perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial. Semuanya itu harus mampu terakomodasi dengan instrumen sehingga semua fenomena yang perlu diamati perlu memperoleh pengamatn secara optimal sehingga kesimpulan yang akan dihasilkannya tidak akan terkitik kembali oleh data. Dalam konteks ini, Patton (Patton,190: 61) menegaskan bahwa disain penelitian itu harus dirancang secara fleksibel, dan tidak bisa dispesifikasi di muka sebelum turun ke lapangan. Kendati demikian, menurutnya pula, bahwa peneliti harus mempersiapkan initial focus, rencana observasi, rencana interview dan bebe-rapa pertanyaan pokok. Dalam penelitian kualitatif semua rancangan pengumpulan data, baik berbentuk rancangan observasi maupun interview dikembangkan secara opne-ended, karena bergerak dalam kenyataan yang tidak semua kenyataan tersebut mampu terprediksi oleh peneliti sebelum terjun ke lapangan. Dan bahkan kejadian yang sudah teramati pada satu hari, bisa terbantah oleh kejadian yang berbeda dalam tindakan yang sama. Oleh sebab itu, instrumen harus dikembangkan secara fleksibel, dinamis open-ended.
Di samping beberapa karakter di atas, Michael Quinn Patton menambahkan beberpa karakter lain yang menonjol dari penelitian kualitatif, yaitu:
1. Bahwa penelitian kualitatif itu memiliki perspektif holistik (Patton,1990: 49), yakni bahwa penelitian kualitatif itu berusaha untuk memahami fenomena sebagai sebuah keseluruhan. Peneliti harus mampu menemukan data tentang fenomena secara totalitas dalam kasus dan seting yang sangat spesifik. Pendekatan holistik ini mengasumsikan bahwa deskripsi tentang konteks penelitian itu diperoleh melalui pengamatan dan pemahaman yang menyeluruh. Dengan demikian, penelitian kualitatif dapat memberikan sebuah kesimpulan yang meyakinkan, karena tidak ada aspek yang tertinggal dalam pengamatan, bahkan bisa melakukan analisis intercorelational dengan melihat interdependensi antara satu fenomena dengan lainnya.
2. Berorientasi pada kasus yang unik (Patton,1990: 53), yakni bahwa penelitian kualitatif bergerak dalam kasus yang sangat spesifik, dan seringkali terlalu kecil untuk digeneralisasi. Kendati demikian, hasil penelitian kualitatif menjadi sangat berguna dan amat diperlukan ketika seseorang hendak memahami makna dari sebuah kejadian dari setiap orang, atau untuk memahami makna situasi dari sebuah organisasi atau sekelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks pendidikan, penelitian kualitatif ini menjadi sangat penting ketika hendak memahami kasus-kasus tertentu dari siswa, bukan frekwensi siswa dalam kasus yang sama, tapi apa arti dari tindakan siswa tertentu, kenapa terjadi dan untuk apa mereka lakukan. Atau, untuk memahami makna dari sebuah situasi kelas tertentu, situasi yang sama di kelas yang berbeda, atau sekolah yang berbeda.
3. Berempati tapi netral (Patton,1990: 54), yakni bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti berada di tengah-tengah obyek penelitian, peneliti hidup bersama dengan mereka. Semakin erat hubungan peneliti dengan kelompok yang diteliti, semakin baik, karena akan semakin tidak ada sekat yang menghalangi teramatinya fenomena sebagai data yang diperlukan mereka. Akan tetapi akan muncul sebuah problema baru, yaitu tumbuhnya rasa simpati yang bisa berkembang menjadi empati peneliti dengan obyek yang ditelitinya, dan secara obyektif bisa mengganggu netralitas peneliti dalam proses analisis untuk perumusan teori-teori hasil penelitiannya itu, karena posisi peneliti sebagai instrumen, baik dalam mengakses data maupun menganalisisnya. Oleh sebab itu, netralitas peneliti senantiasa harus dijaga, agar tidak menjadi bagian dari yang dianalisis karena hanya terseret oleh perasaan empatinya pada obyek yang diteliti.
Inilah beberapa karakter penelitian kualitatif yang sekaligus merupakan keung-gulan-keunggulannya. Dengan menggunakan model kualitatif yang naturalistik ini, peneliti akan memperoleh data apa adanya, diakses langsung oleh peneliti dan langsung dari fenomena yang sesungguhnya. Bogdan menegaskan dengan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam sebagai ciri utama dalam penelitian kualitatif ini, peneliti akan memperoleh data yang benar-benar terjadi tanpa direkayasa. Bahkan peneliti juga dapat mengakses berbagai data terkait lainnya, seperti catatan-catatan sekolah, surat kabar, berbagai rekaman dan foto-foto yang terkait dengan fokus pengamatan (Bogdan,2003: 2). Dengan demikian, keraguan-keraguan terhadap hasil penelitian bisa dieliminir, karena seluruh data yang dibutuhkan terakses oleh peneliti dengan baik. Sejalan dengan karakte-ristik tersebut, penelitian kualitatif menjadi sangat dinamis dan holistik, tidak rigid dengan rancangan yang telah ditetapkan sebelum penelitian dimulai, tidak a priori, dengan semata berpatokan pada hipotesis dan instrumen yang dirumuskan serta dirancang berbasis teori-teori yang telah peneliti baca dari buku dengan kurang mempertimbangkan realitas di lapangan. Akhirnya, penelitian kualitatif akan memperoleh informasi yang komprehensif untuk merumuskan sebuah kesimpulan melalui analisis induktif, karena dalam penelitian kualitatif, kesimpulan selalu didasarkan pada data yang variatif, komprehensif dan holistik. Inilah salah satu keunggulan dan kekuatan dari penelitian kualitatif.
Terkait dengan sifatnya yang holistik dan dinamis itu, maka disain penelitian juga menjadi fleksibel, bisa berubah dengan perkembangan yang nyata dalam kehidupan dan tidak terprediksikan oleh peneliti ketika membuat rancangan awal. Karena karakteristiknya ini, penelitian kualitatif terkadang juga disebut sebagai penelitian yang tidak terstruktur, open-ended, nondirective (tidak terarah), atau terstruktur namun dalam koridor fleksibiltas (Bogdan,2003: 3). Para peneliti hanya terikat oleh outcome penelitian berupa penjelasan detail terhadap berbagai fenomena dari fokus yang diamatinya, seperti apa yang dipikirkan oleh guru, kepala sekolah, dan para siswa dari sebuah sekolah, apa yang mereka inginkan tentang sekolah ke depan. Semuanya itu merupakan substansi dari prilaku-prilaku yang teramati dari merekaa, dan ketika sudah menjadi rumusan akhir sebagai sebuah teori hasil penelitian, maka teori tersebut lazim disebut dengan teori substantif. Kendatipun demikian, sebelum turun ke lapangan, peneliti harus mempersiapkan disain penelitian, seperti penetapan fokus, menyiapkan kisi-kisi untuk observasi, mempersiapkan berbagai perta-nyaan penelitian sebagai entri point untuk memulai penelitian, yang semuanya itu dikem-bangkan dari hasil peneliti membaca berbagai literatur yang terkait dengan fokus pene-litiannya.
Kemudian, sebagaimana sudah banyak disinggung di muka, bahwa penelitian kua-litatif tidak bertendensi untuk melakukan generalisasi, karena memiliki aksentuasi pada pemaknaan dan penafsiran, dan tidak pernah menetapkan ukuran-ukuran populasi dan sampel. Penelitian kualitatif semata-mata berpretensi untuk menjelaskan fenomenaa melalui proses pengamatan terhadap kasus atau fenomena, lalu dimaknai, ditafsirkan, untuk kemudian dirumuskan kesimpulannya sebagai sebuah teori baru. Produk dari penelitian kualitatif ini adalah preposisi-preposisi sebagai sebuah jawaban terhadap misteri dari fenomena yang berkembang dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, penelitian kualitatif yang dapat menyingkap makna tersebut, merupakan sesuatu yang sangat bermakna dalam konteks pengembangan ilmu dan kebijakan, yang tidak akan pernah terjangkau oleh penelitian kuantitatif ilmiah, dengan kekuatan pada pengukuran dan peramalan.
Kendati demikian, penelitian kualitatif dengan berbagai keunggulannya ini memiliki kelemahan pokok, yakni generalisasi dari hasil penelitian. Untuk siapa kesimpulan tersebut berlaku, mencakup wilayah mana saja, dan untuk kategori masyarakat apa, semuanya tidak bisa dijawab oleh hasil penelitian kualitatif, karena tidak pernah memiliki tendensi untuk melakukan generalisasi dari hasil penelitiannya itu.
Sejalan dengan uraian tersebut, David F lancy dalam bukunya berjudul Qualitative Research in Education menjelaskan (Lancy,1993: 2), bahwa:
1. Peneliti sudah menetapkan topik atau isu yang akan diteliti. Tugas dia dalam penelitian tersebut adalah mengungkap dan menemukan substansi di balik isu tersebut. Dalam proses itulah akan terus menerus muncul hipotesis, sampai hipo-tesis tersebut tidak terbantah lagi.
2. Latar tempat melakukan penelitian atau kelompok orang yang akan diteliti dipilih dan ditentukan oleh topik atau isu, dan tempat atau kelompok orang yang akan diamati harus relatif banyak, tidak hanya satu. Dalam konteks ini, peneliti adalah instrumen dan pemegang kebijakan dalam proses pengumpulan data.
3. Disain yang sudah dipersiapkan tidak mutlak dan harus diupayakan untuk sekecil mungkin memaksakannya dalam proses penelitian. Penelitian akan lebih banyak ditentukan dalam dan oleh proses berjalan.
4. Peneliti harus menggunakan wide-angle lens, untuk mencatat seluruh konteks yang melingkari fenomena yang sedang diamati. Fokus bisa berpeindah sesuai kategori analisis, dan teori yang muncul dari data.
5. Penelitian bisa berjalan dalam beberapa bulan, dan bahkan mungkin beberapa tahun.
6. Pelaporan menggunakan format naratif.
Lancy mengemukakan beberapa karekteristik teknis dan prosedur kerja dalam penelitian kualitatif, yakni peneliti harus mempersiapkan isu atau topik yang akan diamati seelum terjun ke lapangan. Kemudian penetapan latar ditentukan oleh isu tersebut, yakni disesuaikan dengan isu atau topik yang akan diamati. Kemudian, walaupun peneliti harus mempersiapkan kisi-kisi pengamatan serta beberapa pertanyaan pokok sebagai entri point dalam wawancara, namun semuanya itu tidak kaku dan tidak boleh memaksakan kisi-kisi serta pedoman wawancara tersebut terpakai. Semuanya bisa diubah jika ternyata realitas lapangan berbeda dengan disain yang dipersiapkan. Peneliti harus melihat seluruh sudut latar yang mengitari fenomena agar pengamatan holistik dan komprehensif, dan fokus bisa terus berkembang dan beralih sejauh terkait dengan proses pengujian hipotesis serta perumusan teori.
Bersamaan dengan itu, Corrine Glesne dalam bukunya berjudul Becoming Qualitative Researchers, mengemukakan dengan lebih simpel dan mendekati kebutuhan operasional pelaksanaan penelitian, bahwa kecenderungan penelitian kualitatif adalah sebagai berikut (Glesne,1999: 6).
1. Asumsi-asumsi:
a. Realitas dibentuk oleh kehidupan sosial
b. Variabel kompleks, berkelindan satu sama lain, dan sangat sulit untuk diukur.

2. Tujuan Penelitian:
a. Kontekstualisasi
b. Pemaknaan dan pemahaman
c. Penafsiran

3. Pendekatan Penelitian:
a. Menghasilkan sebuah teori melalui perumusan dan perbaikan hipotesis-hipotesis. Dalam konteks ini, hipotesis dalam penelitian kualitatif dirumus-kan dari data.
b. Peneliti adalah instrumen
c. Naturaistik
d. Induktif
e. Menemukan pola-pola
f. Mencari kemajemukan dan kompleksitas
g. Menggunakan sedikit indek angka-angka
h. Penulisan laporan secara deskriptif
4. Tugas dan Peran Peneliti:
a. Keterlibatan personal
b. Menyimpulkan pemahaman secara tegas.
Sesuai dengan karakteristik dari penelitian kualitatif yang telah dipaparkan oleh Bogdan dan Biklen, Patton, Moleong, Lancy dan Glesne, maka penelitian kualitatif harus dimulai dengan penetapan fokus, isu atau topik. Kemudian diikuti dengan penetapan latar atau kelompok sosial yang akan diamati sesuai dengan isu, fokus atau topik yang akan diteliti, dan mempersiapkan disain penelitian yang didahului dengan melakukan kajian teoretik untuk membantu menyusun kisi-kisi pengamatan serta entry point berupa pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan fokus penelitian, walaupun disain tersebut bisa tidak digunakan sama sekali setelah tiba di lapangan, karena ketidak sesuaian antara rancangan dengan realitas sosial yang diamatinya.
Aktifitas penelitian memakan waktu cukup panjang. Penghitungan waktu menggu-nakan skala bulan dan tahun, bukan skala hari dan jam, karena fenomena yang terkait dengan isu, fokus atau topik penelitian tidak bisa direkayasa oleh peneliti dan harus terus ditunggu sampai aktifitas sosial itu muncul dan dilakukan masyarakat, jika fenomena itu terkait dengan peristiwa dan waktu tertentu. Penelitian diawali dengan pengamatan, apakah terlibat atau tidak terlibat, yang harus ditentukan sesuai dengan data hendak diperoleh serta teori yang akan digunakannya, bukan karena selera peneliti, kemudian interview, dan pengolahan data untuk perumusan hipotesis penelitian. Hipotesis tersebut terus diuji oleh data, teori dan instrumen penelitian sendiri, sampai tidak terbantah lagi sehingga bisa dirumuskan sebagai sebuah teori baru hasil penelitian, yang lazim disebut dengan teori substantif, yakni teori yang disimpulkan dari substansi realitas sosial. Selama dalam proses pengujiannya itu, hipotesis tersebut, yang juga lazim disebut sebagai hipotesis kerja dan dirumuskan dari data, terus diverifikasi dengan data, teori dan peneliti, sampai hipotesis tersebut tidak terbantah lagi oleh data dan sudah bisa diterima sebagai teori temuan hasil penelitian. Pelaporan lebih banyak menggunakan format laporan naratif, dengan memini-malisasi penggunaan indeks angka, dan bisa dilakukan periodik, per-episode jika proses penelitian dilakukan dalam waktu panjang.
Dengan demikian, penelitian kualitatif tidak pernah berpretensi untuk mengukur variabel, dan juga tidak pernah bepretensi untuk menguji hipotesis dengan data. Justru hipotesis dirumuskan setelah mendapatkan data, namun terus diverifikasi kembali ke lapangan melalui proses diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus sejenis, triangulasi, dan auditing akhir, sampai hipotesis tersebut tidak terbantah lagi, dan sudah dapat disajikan sebagai sebuah teori baru. Penelitian kualitatif tidak anti hipotesis, tapi hipotesis tersebut dirumuskan dari data bukan dari teori, dan terus diuji oleh data. Oleh sebab itu, peneliti memposisikan informan sebagai seseorang yang tidak kita percayai, dan informasinya itu harus terus diuji dengan menghadirkan infporman lain dari kelompok sejenis.
Persoalan lain yang juga amat penting dalam melihat distingsi kualitatif dari pene-litian kuantitatif, yakni soal sampling. Dalam penelitian kuantitatif sample itu merupakan kelompok yang mewakili populasi karena memiliki ciri-ciri yang sama. Dalam penelitian kualitatif, yang diamati adalah fenomena, dan fenomena selalu memiliki konteks, sementara konteks itu amat variatif. Dengan demikian, sebuah kelompok masyarakat tidak bisa dipretensikan mewakili kelompok lainnya. Sebaliknya semua konteks dalam masyarakat tersebut harus terus diamati, sampai terjadi pengulangan konteks. Jika sudah terjadi pengulangan, maka data yang dibutuhkan sudah terjangkau semua. Dan peneliti sudah bisa menghentikan expansi pencarian datanya. Terkait dengan itu, maka dalam kualitatif dikenal pengambilan unit analisis, umpamanya unit analisis siswa, unit analisis petani, ibu rumah tangga atau lainnya. Masing-masing mereka memiliki konteks yang spesifik yang harus teramati dalam penelitian kualitatif.

B. Teori dan Paradigma Penelitian Kualitatif
Istilah teori merupakan salah satu yang cukup problematik dalam penelitian kuali-tatif, karena sering digunakan untuk berbagai konotasi. Kenyataan ini diakui oleh banyak penulis metodologi penelitian kualitatif dalam pendidikan. Glesne umpamanya, menurutnya orang-orang menggunakan istilah teori untuk beberapa konotasi (Glesne,1999: 22). Lebih lanjut dia menegaskan bahwa sebahagian ilmuwan menggunakan istilah teori untuk preposisi-preposisi yang berhubungan antara satu dengan lainnya dan sebahagian merupakan hasil pengembangan analisis deduktif dari preposisi lainnya, yang semuanya itu bisa mempermudah proses analisis pemaknaan dan penafsiran terhadap berbagai fenomena yang dianalisis. Tujuan akhir dari pola pengembangan teori ini adalah menghasilkan hukum universal dari prilaku manusia serta fungsi-fungsi sosialnya.
Sementara itu, dalam penelitian kuantitatif istilah teori biasa digunakan untuk proposisi yang akan diuji (Bogdan dan Biklen,2003: 22), dan kemudian dirumuskan dalam bentuk hipotesis penelitian, dan kerangka teori tersebut dirumuskan dari hasil kajian terhadap berbagai teori yang telah teruji kebenarannya dan tersaji dalam bentuk buku-buku ilmiah. Hasil pengujian terhadap hipotesis tersebut, kemudian juga menjadi sebuah teori, apakah merupakan pembenaran terhadap teori yang telah ada, ataupun menghasilkan teori baru dengan mengkritik teori yang telah ada sebelumnya.
Dalam penelitian kualitatif, istilah teori, sebagaimana dikemukakan Bogdan dan Biklen semakna dengan paradigma, yakni sekumpulan asumsi, konsep dan preposisi yang secara logis berkitan satu sama lain serta mengarahkan berfikir dan penelitian (Bogdan dan Biklen,2003: 22). Sebenarnya paradigma sebagaimana difahami secara leksikal adalah pola atau model, namun dalam konotasi teori sebagaimana dikutip di atas, paradigma tersebut bermakna sejumlah asumsi, konsep dan preposisi yang terkait satu sama lain serta mengarahkan pola berfikir peneliti, khususnya dalam pengumpulan dan analisis data untuk membahas fokus, isu atau topik yang sedang diteliti. Seperti penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam pendidikan dengan menggunakan teori strukturalisme fungsional, maka peneliti akan mengembangkan berbagai pertanyaan tentang arahan-arahan dari unsur pemerintah terhadap masyarakat tersebut, serta akan menanyakan inisiatif masyarakat dalam mengembangkan partisipasi terhadap sekolah, baik dalam proses perumusan kuriku-lum, pengembangan sarana sekolah atau lainnya. Contoh lain tentang teori dalam konotasi ini, sebagaimana dikemukakan Bogdan dan Biklen pada buku dan halaman yang sama adalah, teori perubahan, konflik, prilaku di samping teori strukturalisme fungsional yang sudah dicontohkan di atas. Dengan demikian, dalam pengumpulan dan analisis data, peneliti harus dibantu dengan teori-teori atau paradigma-paradigma ilmu-ilmu sosial, ditulis ataupun tidak dalam usulan atau kerangka kerja penelitian, namun dalam proses pengumpulan dan analisis data harus dibantu dengan salah satu teori yang relevan dengan isu yang diteliti, sehingga pengumpulan dan analisis data bisa terarah walaupun tetap harus holistik, dan komprehensif.
Sementara itu Glesne (Glesne,1999: 22) menjelaskan bahwa tujuan akhir dari penelitian kualitatif adalah merumuskan teori berupa hukum universal tentang prilaku manusia dalam tata hubungan sosial mereka. Dengan demikian teori menurutnya lebih berkonotasi sebagai temuan rumusan baru hasil pengamatan lapangan berupa konsep-konsep yang telah diverifikasi dengan data, teori, dan juga instrumen yang mengakses data tersebut. Teori tersebut dalam konteks ini merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap data berupa fenomena, dengan mengangkat makna-makna substantif dari artikulasi prilaku masyarakat sendiri. Oleh sebab itu, Glesne menegaskan lagi, bahwa hasil akhir dari penelitian kualitatif adalah teori substantif, alih-alih generalisasi empirik sebagai hasil akhir penelitian kuantitatif. Kemudian bersamaan dengan itu, peneliti juga dapat merumuskan teori kedua, yang Glesne menyebutnya sebagai teori formal, yakni penjelasan dan penafsiran tentang seluruh macam fenomena yang terakses dalam pengamatan, dari fenomena yang bermacam-macam. Menurut Moleong, bila teori substantif diperoleh melalui perbandingan antar kelompok, sedangkan teori formal diperoleh melalui perbandingan antar berbagai kasus substantif (Moleong,2000: 38). Dengan kata lain, teori substantif dirumuskan atas dasar hasil analisis terhadap satu fokus, isu atau topik tertentu yang diamati di berbagai kelompok sosial. Sedangkan teori formal dirumuskan sebagai hasil perbandingan antar berbagai teori substantif. Teori formal menurut Glesne memiliki cakupan yang lebih luas daripada teori substantif hasil penelitian kualitatif atau generalisasi empirik hasil penelitian kuantitatif (Glesne,1999: 23).
Sementara itu, dalam konteks teori sebagai sebuah paradigma atau teori yang mengarahkan berfikir dan melakukan pengamatan bagi peneliti, akumulasi konsep, preposisi dan asumsiasumsinya lebih banyak diwarnai oleh teori-teori yang datang dari kalangan peneliti antropologi, sosiologi dan psikologi (Best,1993: 188). Paradigma-paradigma yang spesifik dari bidang ilmu pendidikan sendiri belum berkembang. Oleh sebab itu, Patton penulis buku Qualitative Evaluation and Reserach Methods menawarkan 10 teori untuk penelitian dan evaluasi pendidikan menggunakan penelitian kualitatif, dengan mengadaptasikan teori-teori yang telah dikembangkan oleh para peneliti antropologi, sosiologi dan psikologi tersebut. Paradigma yang ditawarkan Patton dalam melakukan penelitian kualitatif untuk bidang pendidikan adalah ethnogra etnografi, fenomenologi, heuristik, etnometodologi, interaksi simbolik, ekolologi-psikologi, teori sistem, teori keos, hermeneutik dan kualitatif orientasional.


1. Etnografi

Penelitian etnografis sebagaimana dikemukakan Patton adalah penelitian yang memfokuskan untuk mencari jawaban tentang pertanyaan “apa budaya dari kelompok masyarakat ini” ?(Best,1993: 189), yakni bahwa paradigma tersebut dikembangkan untuk merumuskan model atau bentuk budaya sebuah masyarakat. Model atau paradigma penelitian ini populer dalam disiplin antropologi, dan dipopuperkan oleh para antropolog. Namun kalangan peneliti pendidikan melihat relevansi paradigma tersebut dalam penelitian pendidikan, sehingga bisa dijadikan salah satu rujukan model jika masalah atau fokus yang ditelitinya itu relevan untuk didekati dengan paradigma etnografis dengan berbagai implikasi metodologisnya.
Kekuatan paradigma etnografis adalah perumusan budaya sebuah kelompok masyarakat, atau sebuah komunitas sosial, dan makna-makna yang diberikan oleh mereka terhadap budayanya itu. Relevan dengan definisi yang diangkat kalangan antropolog, Patton menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan budaya dalam paradigma penelitian etnografis tersebut adalah, kumpulan model-model prilaku dan kepercayaan yang menjadi standar dalam menetapkan apakah itu, standar untuk menetapkan apa yang bisa dikerjakan, standar dalam menetapkan apa yang akan dikerjakan seseorang dan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu, serta standar untuk menetapkan bagaimana cara melakukan sesuatu (Patton, 1990: 68). Sementara itu, Bogdan dan Biklen mengemukakan bahwa budaya adalah pengetahuan yang diperoleh setiap orang yang digunakan untuk merumuskan prilaku serta menafsirkan berbagai pengalaman (Bogdan,2003: 27).
Pengertian-pengertian tentang budaya sebagaimana dikemukakan Patton dan Bogdan serta Biklen memperlihatkan sebuah konsep bahwa budaya bukan prilaku, tapi sebuah gagasan utuh yang telah membentuk konsep prilaku dan akan menetapkan serta menentukan prilaku, yang tidak sekedar mampu merekonstruksi konsep prilaku tapi juga memberi makna serta penafsiran terhadap prilaku tersebut. Sejalan dengan itulah, maka penelitian etnografis sebagaimana dirumuskan Patton adalah penelitian untuk merumuskan model dan bentuk-bentuk budaya dari sebuah komunitas masyarakat. Sementara Bogdan dan Biklen mendefinisikannya sebagai penelitian untuk memahami konsep-konsep prilaku tersebut serta makna dan penafsirannya.
Fokus terhadap prilaku sosial dari sebuah masyarakat dengan upaya untuk memahami konsep-konsep serta berbagai makna di balik prilaku tersebut, merupakan sebuah pekerjaan yang kompleks, karena keragaman kultur menuntut perumusan keragaman konsep-konsep yang melahirkan kultur tersebut, serta keragaman makna dan interpretasi dari prilaku-prilaku tersebut, serta keterkaitan antara satu unsur prilaku dengan lainnya. Untuk itulah, penelitian etnografis menunutut proses penelitian yang sungguh-sungguh dan peneliti benar-benar berada di tengah-tengah masyarakat yang diamatinya. Pengamatan tidak bisa hanya dengan pengamatan selintas yang tidak ada keterlibatan peneliti sama sekali dengan obyek masyarakat yang diamatinya. Pengamatan berperan serta merupakan teknik utama dalam penelitian etnografis. Peneliti harus benar-benar berada di tengah-tengah masyarakat yang diamatinya itu.
Deddy Mulyana menjelaskan bahwa kelompok antropolog telah menunjukkan penggunaan paradigma etnografi secara baik, seperti Clifford Geertz yang telah berhasil mendeskripsikan dengan baik tipologi masyarakat muslim Jawa. Tidak hanya Geertz tapi juga ada sejumlah nama lain yang sangat populer dalam penelitian antropologi, seperti Bronislow Malinowski, A.R. Radcliffe-Brown, Franz Boas dan Margaret Mead. Mereka menguraikan hasil pengamatannya secara holistik dalam uraian yang panjang. Oleh sebab itu, penelitian ethografi juga biasa disebut dengan thick description atau penelitian dengan uraian yang panjang (Mulyana,2002: 162).
Kemudian, Patton memberikan ilustrasi tentang implementasi paradigma etnografis dalam penelitian pendidikan adalah pengamatan yang dilakukan seorang peneliti terhadap sebuah sekolah dalam aspek implementasi program-program sekolah. Peneliti bisa mengamati bagaimana program-program sekolah dirancang, lalu bagaimana program-program didistribusi pada semua unsur sekolah, lalu apa yang dilakukan guru, tata usaha, para siswa serta, dan apa yang dicapai dengan implementasi program-program tersebut, dan menganalisis apa yang harus diubah dan apa yang perlu dikembangkan. Dengan demikian, penelitian mampu memfasilitasi berbagai perubahan dan pengembangan tersebut (Patton,1990: 68).
Sementara itu, Bogdan dan Biklen memberikan ilustrasi tentang penggunaan paradigma etnografis dalam penelitian pendidikan untuk mengamati proses penyesuaian diri siswa-siswa baru di sebuah sekolah. Contoh yang diberikan adalah proses penyesuaian diri anak-anak siswa taman kanak-kanak, sebuah proses penyesuaian yang sangat berat, karena mereka baru keluar dari lingkungan keluarga dan lepas dari kelekatan terhadap orang tuanya. Mereka harus mulai belajar mandiri dan melakukan banyak perbuatannya sendiri. Mereka harus mulai makan dan minum sendiri, pergi ke kamar mandi sendiri, dan terus dalam banyak hal mereka dilatih untuk melakukan banyak penyesuaian diri (Bogdan,2003: 29).
Ilustrasi di atas memberi inspirasi bahwa penelitian kualitatif dengan pradigma etnografi dapat digunakan dalam lapangan pendidikan, baik dalam mengamati implementasi program sekolah sebagaimana diilustrasikan Patton, maupun penyesuaian diri siswa di lingkungan sekolah sebagaimana diilustrasikan Bogdan. Lapangan pendidikan tidak sebatas hanya program sekolah dan penyesuaian diri siswa dalam lingkungan sekolah, tapi juga prilaku siswa di sekolah, partisipasi orang tua dalam pendidikan, bahkan akan sangat bermakna, jika penelitian kualitatif dengan paradigma etnografi ini diguakan untuk melihat dan mengevaluasi prilaku siswa di luar sekolah. Dengan demikian penelitian kualitatif akan mampu memberi kontribusi serta memfasilitasi perubahan-perubahan kebijakan dalam pengembangan kurikulum, perlakuan terhadap siswa serta strategi pembelajaran dan penugasan mereka.

2. Fenomenologi

Istilah fenomenologi digunakan sangat luas terutama dalam konteks sebagai sebuah paradigma dalam penelitian kualitatif, pola berfikir filosofis, perspektif dan terkadang menjadi sinonim terhadap penelitian kualitatif itu sendiri atau penelitian inquiri naturalistik. Bila dalam paradigma etnografi peneliti mengamati budaya sebuah masyarakat, dan makna dari prilaku kulturalnya itu, maka dalam paradigma fenomenologi, sebagaimana dikemukakan John W Best peneliti berusaha menjawab pertanyaan, apa struktur pengalaman dari sebuah fenomena yang dilakukan oleh orang-orang dalam sebuah komunitas, dan apa esensi dari pengalaman tersebut dalam pandangan mereka? (Best,1990: 69). Sementara itu, Bogdan dan Biklen mengemukakan bahwa peneliti dalam penelitian kualitatif berusaha untuk memahami makna sebuah kejadian dan makna berbagai interaksi orang-orang inti dalam setiap situasi yang partikular (Bogdan,2003: 23). Paradigma ini populer dalam penelitian falsafat.
Dua definisi ini memperlihatkan sebuah perspektif bahwa paradigma fenomenologi memfokuskan perhatiannya pada pengalaman atau interaksi sosial dari sebuah komunitas sosial serta esensi dari prilaku tersebut dalam pandangan masyarakat sendiri. Sebenarnya bila didekatkan dengan etnografis, fokus pengamatannya bisa sama yakni pengalaman atau interaksi sosial, hanya aksentuasi keduanya berbeda, karena etnografi berkepentingan dengan perumusan bentuk budaya berupa konsep-konsep prilaku secara holistik, sementara fenomenologi memiliki aksentuasi dalam perumusan struktur pengalaman dari sebuah masyarakat serta makna dari pengalaman-pengalaman tersebut. Nampaknya, fokus dalam etnografis adalah etnik dengan fenomena yang cenderung holistik dan saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Sementara dalam fenomenologi fokus dibatasi oleh fenomena dengan mengamati serta merumuskan struktur dari pengalaman orang-orang dalam sebuah komunitas sosial, serta mempelajari berbagai makna esensial dari sebuah interaksi yang dilakukan subyek-subyek inti, serta dalam pengembangan pengalaman yang dilakukan mereka. Dedy Mulyana menegaskan bahwa sejalan dengan aksentuasinya itu, pendekatan utama dalam penelitian dengan paradigma fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologis (Mulyana,2002: 59).
Dengan pendekatan-pendekatannya itu, peneliti dalam penelitian kualitatif secara serius berusaha memahami pandangan sebuah komunitas sosial tentang struktur dari pengalaman mereka serta esensi atau hakikat dari pengalaman-pengalamannya itu. Namun, sebagaimana Patton katakan bahwa peneliti tidak akan mampu mengetahui dan menjelaskan struktur dari pengelaman sebuah masyarakat tanpa mendatangi mereka dan bersama-sama dengan mereka mengalami seluruh pengalaman kehidupan sosial tersebut (Patton,1990: 69). Kemudian ditegaskan pula oleh Bogdan dan Biklen bahwa peneliti harus mampu memahami aspek subyektif dari prilaku masyarakat. Mereka harus mencoba memahami dunia konsep, agar dapat memahami bagaimana mereka merancang setiap kejadian dalam kehidupan sehari-hari dan apa makna dari bentuk pengalaman-pengalaman tersebut (Bogdan,2003: 23). Fenomena yang diamatinya sendiri bisa berbentuk emosi, kesendirian, kecemburuan dan kemarahan, dan bisa juga berbentuk hubungan sosial, pernikahan, atau hubungan profesional, dan bisa juga fenomena dalam sebuah organisasi, program atau budaya.
Nampaknya, sebagaimana Bogdan dan Biklen katakan, paradigma fenomenologi dalam penelitian sosial ini, selain dipengaruhi oleh Edmund Husserl dan Alfred Schultz, juga dipengaruhi oleh tradisi Weberian yang biasa menggunakan paradigma verstechen dalam memahami dan menginterpretasi interaksi manusia dalam sebuah komunitas sosial. Para peneliti kualitatif tidak pernah berasumsi bahwa mereka mengetahui dan memahami makna setiap sesuatu yang terjadi di tengah-tengah komunitas yang diamatinya. Mereka berprinsip bahwa setiap kenyataan selalu dibentuk oleh komunitasnya. Oleh sebab itu, mereka sangat mengetahui bentuk dari sebuah prilaku sosial dan makna dari prilakunya itu. Agar peneliti bisa menangkap makna-makna tersebut, maka mereka harus masuk pada persepsi-persepsi subyektif yang berkembang di tengah-tengah komunitas di mana fenomena itu berkembang, dan peneliti harus benar-benar berada di tengah-tengah mereka sehingga makna-makna subyektif itu terungkap sedemikian rupa, dan bisa mereka rumuskan dengan baik.
Pada mulanya seluruh pemahaman dihasilkan oleh pengalaman pancaindra mengakses fenomena. Akan tetapi, pengalaman tersebut harus dijelaskan, diungkapkan dan diinterpretasikan. Oleh sebab itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa peneliti harus mengalami langsung fenomena yang diamatinya itu, sehingga dia memahami benar makna dari pengalaman yang dilaluinya, dan dia akan mampu mengembangkan interpretasi terhadap fenomena yang diamatinya itu. Interpretasi sendiri merupakan sesuatu yang amat esensial dalam proses memahami pengalaman, dan melakukan interpretasi juga termasuk pengalaman. Akan tetapi, interpretasi pengalaman tidak cukup hanya dengan makna yang mampu difahaminya sendiri, dia juga harus memahami makna dari interaksi yang dilakukan obyek pengamatan. Dengan demikian tugas peneliti berbasis fenomenologis adalah mencoba mensintesiskan antara makna yang diperolehnya dengan mengalami sendiri fenomena yang diamatinya, serta makna yang dapat ditangkap dari obyek pengamatan, sehingga dapat merumuskan sebuah interpretasi akhir dari fenomena yang diamatinya itu.
Dengan demikian ada dua implikasi yang terlahir dari perspektif fenomenologis ini, yakni pertama, apa pengalaman orang-orang dalam melahirkan fenomena dan bagaimana mereka menafsirkannya. Inilah yang kemudian disebut sebagai fokus dalam penelitian inquiry fenomenologis, dan kedua adalah dimensi metodologis, yakni untuk mengetahui makna dari pengalaman orang-orang adalah mengalami sendiri. Paradigma inilah yang kemudian melahirkan sebuah tuntutan metodologis agar penelitian tersebut dilakukan dengan pengamatan terlibat. Peneliti dituntut untuk berada di tengah-tengah masyarakat yang melahirkan fenomena yang diamatinya itu, bahkan dia bersama-sama dengan mereka mengalami dan melakukan sendiri fenomena yang diamatinya itu.
Berbagai pengalaman dari berbagai orang dan juga dari dirinya sendiri jika dia mengalaminya sendiri, dalam fokus yang sama itu dikumpulkan, dianalisis dan dibandingkan untuk dapat menyimpulkan esensi dari fenomena yang diamatinya itu. Umpamanya pengamatan terhadap fenomena ibu-ibu mengantarkan putra dan putrinya ke sekolah serta menunggu di sekolah sampai mereka pulang. Peneliti harus mengalami sendiri mengantar anak ke sekolah, menunggu mereka sampai pulang dan melakukan berbagai aktifitas di sekolah sebagaimana ibu-ibu lainnya yang menunggu anak mereka pulang. Dia melakukan pengamatan, interview dan memaknai sendiri fenomena atau prilaku yang dilakukannya. Inilah tuntutan metodologis dari penelitian kualitatif dengan paradigma fenomenologis. Aliran fenomenologi ini melahirkan tiga paradigma lain yang semuanya mengacu pada tradisi fenomenologi, yakni inquiri heuristik, etnometodologi, dan interaksi simbolik.

3. Inquiry Heuristik

Inquiry heuristik adalah salah satu bentuk dari paradigma inquiry fenomenologis yang membawa pengalaman pribadi dan pengetahuan mendalam ke hadapan peneliti. Pertanyaan pokok dalam penelitian inquiry heuristik adalah, apa pengalaman saya tentang fenomena dan apa bagian-bagian penting dari pengalaman orang lain yang juga mengalami fenomena yang sama dengan sengaja? (Best,1993: 189). Paradigma fenomenologis sebagaimana telah diuraikan di atas menuntut agar peneliti mengalami langsung fenomena yang diamatinya. Dalam heuristik justru pengalaman itu yang menjadi inti dari pengamatannya dan dikomparasikan dengan pengalaman orang lain. Paradigma ini populer dalam penelitian psikologi humanistik.
Istilah heuristik diambil dari bahasa Yunani heuriskein yang bermakna menemukan. Oleh sebab itu, penelitian heuristik sangat menekankan penemuan-penemuan baru tentang makna dari setiap pengalaman baik yang dialami langsung oleh peneliti maupun orang lain sebagai partisipan penelitian. Laporan penelitian heuristik dipenuhi dengan berbagai penemuan, persepsi dan pengetahuan-pengetahuan personal serta refleksi peneliti sendiri (Patton,1993: 72). Keunikan inquiry heuristik adalah proses pemahaman esensi fenomena melalui sharing refleksi antara peneliti dengan partsipan penelitian terhadap fenomena yang mereka alami. Penyatuan perasaan dan pengertian antara peneliti dengan partisipannya dikembangkan untuk dapat membentangkan dan membeberkan kenyataan, makna, dan esensi dari pengalaman manusia yang sangat bermakna.
Pada hakikatnya inquiry heuristik ini diturunkan dari fenomenologi. Akan tetapi setidaknya ada empat (4) perbedaan besar antara keduanya (Patton,1990: 73), yaitu:
1. Inquiry heuristik menekankan koneksitas dan hubungan antara refleksi dan makna yang dirasakan penelti dengan partisipan peneliti, sementara fenomenologi senantiasa mendorong agar peneliti tidak terpengaruh dalam proses analisis terhadap setiap pengalaman.
2. Inquiry heuristik menggambarkan makna-makna esensial dan melukiskan arti serta peran personal yang dapat mengilhami peneliti sehingga dapat menjangkau dan mengetahui makna dalam proses penelitiannya itu. Sementara fenomenologi menekankan deskripsi definitif tentang struktur pengalaman.
3. Inquiry heuristik menyimpulkan dengan sebuah sintesis kreatif yang mencakup institusi (tradisi-tradisi) dari peneliti sendiri serta pemahaman-pemahaman yang dilakukannya secara diam-diam. Sementara fenomenologi memaparkan makna yang disimpulkan dari struktur-struktur pengalaman.
4. Aliran fenomenologi sudah bisa melepaskan orang-orang (partisipan penelitian) dalam proses analisis dan mendeskripsikan hasil penelitian. Sementara dalam inquiry heuristik partisipan peneliti masih tetap terlibat dalam proses analisis, pengujian data dan terus sampai pada deskripsi akhir.
Semua model penelitian kualitatif, dari mulai etnografis, fenomenologis maupun inquiry heuristik menunutut peneliti berada di tengah-tengah obyek penelitiannya melalui pengamatan terlibat, dan tidak cukup hanya dengan pengamatan selintas, yakni datang untuk mengamati, lalu interview, dan pulang. Pengamatan tersebut tidak akan efektif memperoleh makna yang sesunnguhnya dari fenomena yang diamati, karena masih ada jarak antara peneliti dengan fenomena yang diamatinya. Penelitian kualitatif dengan paradigma fenomenologi dan inquiry heuristik menghendaki agar peneliti mengalami langsung fenomena yang diamatinya, dan dia turut memberikan makna terhadap fenomena yang dialaminya itu, untuk dikomparasikan dengan makna yang difahami partsipannya.
Bersamaan dengan itu, terdapat langkah-langkah sistematik dalam inquiry heuristik yang menuntut peneliti untuk melakukan eksposisi definitif esensi-esensi pengalaman meliputi; pencelupan, inkubasi, iluminasi, eksplikasi, dan melakukan sintesis kreatif. Setelah memperoleh makna, peneliti tidak bisa langsung berpretensi untuk menyimpulkan interpretasinya sebagai sebuah kebenaran akhir yang dihasilkannya, tapi harus ada proses pengendapan sambil dilakukan perenungan-perenungan, berdiskusi dengan para partsipannya, sampai dia memperoleh pencerahan untuk kemudian diuraikan dan dilakukan analisis sintesis untuk hasil akhir penelitiannya.
Apa yang terpenting dari inquiry heuristik ini adalah bagaimana kalangan fenomenologis memberikan contoh proses sampai mengetahui dan memaknai fenomena melalui pengalaman pribadi dan membawa pengalaman-pengalaman tersebut di hadapan peneliti yang menjadi instrumen utama dalam penelitian. Kemudian, teknik-teknik dan prosedur yang dikembangkan dalam paradigma ini juga memberikan ilustrasi tentang bagaimana menjaga obyektifitas keilmuan dan peneliti tidak terpengaruh oleh kenyataan-kenyataan lapangan, kendati dia memasuki fenomena dan berusaha membawa berbagai pengalaman orang lain dalam fenomena yang sama ke hadapan dirinya, dengan tetap dalam koridor obyektifitas dan tidak terpengaruh oleh kenyatan-kenyataan tersebut.
4. Etnometodologi

Etnometodologi, menurut Mulyana sebagaimana telah dikemukakan di atas, merupakan salah satu pendekatan dalam peneltian kualitatif dari aliran fenomenologis. Namun pendekatan etnometodologi memiliki distingsi dari pendekatan lainnya, khususnya dalam penentuan dan penetapan fokus penelitian yang lebih memperhatikan cara-cara sebuah masyarakat melakukan aktifitas hariannya. Etnometodologi adalah salah satu paradigma yang memberikan perhatian pada cara-cara komunitas masyarakat melakukan pekerjaan dari berbagai aktifitas harian mereka, dan berusaha untuk memahami makna perbuatan-perbuatannya itu sebagaimana difahami masyarakatnya sendiri. Dalam konteks ini, Best menegaskan bahwa pertanyaan pokok penelitian etnometodologi adalah, bagaimana masyarakat melakukan aktifitas harian mereka yang dapat diterima oleh anggota masyarakat lainnya, serta bagaimana mereka memahami aktifitas-aktifitas sosialnya itu (Best,1993: 189). Sejalan dengan itu, Bogdan dan Biklen menegaskan bahwa etnometodologi ini mengarahkan kajian untuk mengamati dan menganalisis bagaimana sebuah komunitas sosial melakukan kehidupan sehari-hari dan bagaimana mereka memahami aktifitasnya itu (Bogdan,2003: 29). Best dan Bogdan nampaknya memiliki kesimpulan yang sama tentang model penelitian yang dikembangkan aliran etnometodologi, yakni pengamatan terhadap cara-cara sebuah masyarakat melakukan aktifitas sosialnya, dan bagaimana mereka memaknai perbuatan-perbuatannya itu. Model ini banyak digunakan dalam penelitian sosiologi.
Terkait dengan pengertian di atas, Bogdan dan Biklen mengemukakan bahwa dalam pengamatan budaya sebuah masyarakat, para peneliti terkadang mengklasifikasi cara-cara masyarakat melakukan sesuatu perbuatannya dengan term khusus, seperti ethnobotany untuk mengemukakan cara-cara mereka bercocok tanam dan ciri-ciri tanaman dalam kultur pertanian mereka, kemudian ethnophisics untuk mengemukakan ciri-ciri fisik dari sebuah komunitas masyarakat tertentu, dan ethnomusic untuk mengemukakan cara-cara masyarakat bermain musik serta ciri-ciri musik yang dimainkannya (Bogdan,2003: 29).
Di samping itu, sebagaimana dikemukakan Patton, bahwa penelitian etnometodologi juga memberikan perhatian pada kejadian-kejadian baru yang problematik dan timbul akibat seseorang atau beberapa orang terdorong pada situasi yang tidak diinginkannya, seperti minggu pertama seorang guru atau beberapa orang guru melaksanakan tugasnya di sekolah, atau minggu pertama bagi siswa baru yang baru measuki sekolahnya. Kejadian-kejadian kritis tersebut akan selalu terjadi pada siapa saja, pada program apa saja dan juga di organisasi mana saja (Patton,1990: 75).
Etnometodologi tidak menunjuk langsung pada metode yang harus digunakan peneliti. Berbeda dengan etnografi, fenomenologi dan inquiry heuristik yang menunutut penggunaan metodologi yang distinktif dengan aliran lainnya. Etnometodologi tidak memfokuskan perhatiannya pada aspek tersebut, tapi lebih menekankan pada dimensi atau aspek yang diamati dalam penelitian, yang menyangkut cara-cara sebuah masyarakat melakukan aktifitas hariannya, baik dalam konteks pekerjaan profesionalnya maupun interaksi sosiologisnya, serta kejadian-kejadian aneh akibat seseorang terdorong pada sebuah situasi baru yang tidak diinginkannya. Semua fenomena dan kejadian tersebut dicatat, dimaknai dan lalu diinterpretasikan sebagai sebuah temuan baru dalam penelitianya.
Dengan demikian fokus dari etnometodologi adalah pemaparan terhadap realitas dari kehidupan sehari-hari yang terjadi tanpa rekayasa dan muncul dalam aktifitas harian dengan sendirinya. Dalam konteks ini, peneliti tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan dengan hanya dipengaruhi oleh keyakinanya sendiri, tapi justru harus terus melakukan kajian mendalam tentang cara-cara masyarakat melakukan aktifitas hariannya itu, baik dalam konteks pekerjaan-pekerjaan profesional, maupun interaksi sosial mereka di tengah-tengah masyarakatnya. Pemaparan tentang prilaku sehari-hari dari masyarakat yang diamatinya itu, baik dalam pelaksanaan program-program sekolah maupun pengelolaan organisasi secara menyeluruh (dalam konteks penelitian pendidikan), akan dapat mendorong sebuah pemahaman yang baik dalam rangka melakukan evaluasi terhadap program atau situasi yang ada dalam upaya mengkonstruksi berbagai perubahan dan perkembangan serta menciptakan realitas baru sesuai harapan masyarakat dengan berbasis pada kenyataan. Hasil-hasil analisis etnometodologi, setidaknya dapat memfasilitasi berbagai perubahan dan kemajuan-kemajuan institusi dengan pengembangan berbagai program baru yang lebih relevan.

5. Interaksi Simbolik

Kendati Mulyana, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menempatkan interaksi simbolik sebagai salah satu pendekatan dalam penelitian model fenomenologis (Mulyana,2002: 59), namun paradigma ini sangat populer dalam penelitian kualitatif, karena memberikan sebuah perspektif untuk memperoleh makna dari setiap prilaku manusia yang pada hakikatnya tercipta dalam sebuah proses interaksi dengan simbol-simbol yang mereka maknai. Interaksi simbolik merupakan salah satu derivasi dari fenomenologi, yakni tiuntutan metodologis dalam paradigma interaksi simbolik adalah tradisi yang dikembangkan dalam fenomenologi. Hanya saja, fokus dalam interaksi simbolik adalah makna simbol-simbol yang dikembangkan objek penelitian dalam interaksi sosial mereka. Terkait dengan itu, Bogdan dan Biklen menegaskan bahwa benda, orang, situasi dan kejadian tidak memiliki makna sendiri, tapi diberikan pada mereka (Bogdan,2003: 25). Seperti TV dan VCD sebagai sarana dalam pembelajaran yang digunakan guru untuk mengaudiovisualkan materi pelajarannya melalui rekaman gambar-gambar dan suara dalam bentuk CD yang telah dibuat sebelumnya. TV dan VCD tersebut bagi guru adalah alat yang dapat mempemudah pross pembelajaran. Sementara bagi orang lain TV dan VCD tersebut merupakan sarana yang dapat mempermudah memperoleh hiburan, dan bagi orang lainnya, TV dan VCD adalah sarana yang dapat mempermudah baginya untuk memperoleh informasi. Dengan demikian, benda-benda atau prilaku-prilaku orang dalam interaksi sosialnya memiliki makna masing-masing, yang makna tersebut sangat tergantung pada orang yang melakukannya. Paradigma interaksi simbolik terebut mengarahkan peneliti untuk mengamati, mencari dan memahami serta menginterpretasi makna-makna dari setiap kejadian, situasi atau benda-benda sebagaimana diberikan oleh masyarakatnya sendiri. Paradigma interaksi simbolik ini lazim digunakan dalam penelitian psikologi sosial.
Sejalan dengan itu, Patton menegaskan bahwa interaksi simbolik merupakan salah satu “teori” yang sangat erat hubungannya dengan inquiri kualitatif serta dengan orientasi verstechen (Patton,1990: 75), karena paradigma (dalam istilah Patton teori) ini memberikan penekanan yang amat kuat terhadap pentingnya makna dan interpretasi dari sebuah interaksi, dan muncul dalam kehidupan nyata yang harus diamati, digali, dimaknai dan diinterpretasi oleh peneliti. Peneliti dengan peradigma interaksi simbolik membawa pertanyaan pokok apa perangkat simbol-simbol yang umum terjadi dalam interaksi masyarakat, dan apa pemahaman mereka atau makna dari interaksinya itu (Best,1993: 189). Peneliti harus mampu memperoleh makna sesuai yang mereka berikan, karena benda-benda, kebiasaan-kebiasaan serta berbagai kejadian dalam tata hubungan sosial masyarakat tidak memiliki makna universal, semua sangat tergantung pada makna yang diberikan pelaku atau orang yang terkait dengan munculnya prilaku tersebut.
Paradigma interaksi simbolik ini dikembangkan di atas dasar teori sosial, bahwa kehidupan sosial pada hakikatnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan maksud untuk berkomunikasi dengan sesamanya (Mulyana,2002: 71). Prilaku tersebut dikembangkan setiap manusia sebagai hasil dari interpretasi mereka terhadap dunia di sekelilingnya. Interkai manusia dengan dunia dan lingkungannya melahirkan konsep-konsep dan gagasan prilaku. Prilaku yang mereka kembangkan itu sebagai sebuah implikasi natural yang tidak direkayasa atau dibentuk oleh unsur lain di luar dirinya. Semua semata hasil interaksinya dengan lingkungan sosial, yang kemudian melahirkan konsep prilaku. Oleh sebab itu, setiap simbol prilaku memiliki makna sesuai yang diberikan orang yang melakukannya itu.
Sejalan dengan itu, Mulyana juga mengemukakan tiga dasar teori pengembangan paradigma interaksi simbolik (Mulyana,2002: 71-72), yakni:
1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan termasuk objek fisik berupa benda-benda dan sosial berupa prilaku manusia berdasarkan makna yang dikandung unsur-unsur tersebut bagi mereka. Respon manusia tersebut tidak dipengaruhi oleh unsur eksternal dan tidak juga bersifat mekanis, tapi semata bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang dihadapi dalam interakis sosialnya itu.
2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu, makna tidak melekat pada objek, melainkan diberikan oleh manusia. Dan manusia mampu memberikan makna tidak sebatas hanya pada objek fisik dan tindakan atau peristiwa-peristiwa tapi juga terhadap berbagai non-fisik seperti gagasan. Penamaan tersebut bersifat arbitrer dan sembarang. Oleh sebab itu, tidak bisa dicari relevansi rasional antara objek dengan makna yang diberikannya.
3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial mereka. Perubahan tersebut sangat mungkin terjadi, karena setiap manusia terus mengalami perubahan dengan perkembangan pengetahuan dan pengalaman mereka, yang secara langsung akan mempengaruhi cara mereka memandang benda-benda serta berbagai simbol dalam interaksi sosialnya.
Dengan mengutip ungkapan Ritzer, Mulyana menyampaikan prinsip-prinsip paradigma interaksi simbolik dalam sebuah urutan logika dialektis dan linier, (Mulyana, 2002: 73) yakni:
1. Bahwa manusia memiliki kemampuan berfikir
2. Kemampuan berfikir tersebut berkembang melalui interaksi sosial.
3. Dalam interaksi sosial, setiap orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas sebagai manusia, yakni berfikir.
4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia.
5. Kemudian, orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi.
6. Modifikasi dan perubahan ini terjadi karena antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya.
7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin ini akan membentuk kelompok dan masyarakat.
Berdasarkan logika tersebut, masyarakat terbentuk oleh kelompok-kelompok komunitas sosial yang kelompok tersebut terbentuk oleh kesamaan memaknai simbol-simbol interaksi sosial mereka. Nampaknya, pemknaan terhadap simbol menjadi inti dalam terbentuknya komunitas sosial, dan terbentuknya masyarakat dalam kelompok yang lebih besar. Oleh sebab itu, perumusan tentang tipologi sebuah masyarakat harus dilakukan dengan memahami makna simbol-simbol sebagaimana mereka maknai. Sejalan dengan uraian Ritzer sebagaimana dikutip Mulyana di atas, Patton menyampaikan teori yang secara substantif sama, yang dia kutip dari Blumer, bahwa menurutnya ada tiga landasan teori yang sangat fundamental dalam paradigma interaksi simbolik (Patton,1990: 76), yakni:
1. Tindakan seseorang terhadap sesuatu senantiasa didasarkan pada makna yang dimiliki sesuatu itu untuknya, yakni makna benda atau lainnya bagi mereka pelakunya.
2. Makna dari sesuatu itu muncul jika terjadi interaksi sosial antara seseorang dengan temannya.
3. Makna dari benda atau sesuatu itu dikembangkan dalam dan dimodifikasi melalui proses interpretasi yang dilakukan oleh mereka sendiri dalam interaksi sosiologis mereka.
Dengan demikian, penelitian kualitatif menjadi sangat penting untuk dapat memahami makna dan interpretasi simbol-simbol interaksi sosial mereka dalam kehidupan sehar-hari, baik simbol kata, benda, maupun lainnya. Mereka memberi makna pada simbol-simbol tersebut secara spesifik yang mungkin berbeda antara satu komunitas dengan lainnya. Dalam konteks ini, peneliti harus berusaha mendapatkan makna dan interperatsi sesuai yang mereka berikan, untuk kemudian ditafsirkan dan disimpulkan secara induktif. Untuk memperoleh makna tersebut, peneliti tidak bisa hanya dengan wawancara tanpa diverifikasi dengan pengamatan lapangan. Oleh sebab itu, paradigma interaksi simbolik, sebagaimana paradigma kualitatif lainnya juga menuntut peneliti untuk melakukan pengamatan terlibat, kendati tidak secara tegas menuntut mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagaimana dilakukan masyarakat yang diamatinya itu, namun mereka diharapkan dapat menangkap makna dan interperetasi simbol-simbol dalam interaksi sosial di antara mereka.
Landasan teori tersebut setidaknya telah mampu menuntun peneliti inkuiri naturalistik untuk mampu memahami bagaimana orang-orang merasa, memahami dan menginterpretasi dunia. Hanya saja makna dan interpretasi tersebut bisa diketahui peneliti melalui kontak serta interaksi langsung dengan masyarakat, serta melakukan analisis induktif, para peneliti kualitatif tersebut akan mampu memahami dunia simbol dari masyarakat yang dikajinya. Oleh sebab itu, penelitian kualitatif dengan paradigma interaksi simbolik menuntut peneliti untuk berinteraksi langsung dengan obyek pengamatan dalam upaya memahami makna simbol-simbol interkasi sosial mereka. Dan peneliti hanrus berbasis data yang mereka temukan di lapangan.
Paradigma interaksi simbolik bisa digunakan dalam penelitian pendidikan dengan bidang-bidang yang variatif. Model tersebut dapat digunakan untuk menyerap berbagai gagasan, harapan serta permintaan para stakeholder sekolah terhadap sekolah itu sendiri, peneliti dapat mendeskripsikan persepsi pelanggan sekolah tentang sekolah yang mereka gunakan sebagai sarana pendidikan bagi para putra dan putri mereka. Demikian pula dengan persepsi siswa, yang semuanya itu berguna untuk mengembangkan program sekolah dalam rangka meningkatkan kesesuaian program sekolah dengan harapan serta permintaan para pelanggannya itu. Tidak hanya itu, aspek-aspek pendidikan lainnya, seperti implementasi kurikulum oleh para guru, pengembangan strategi pembelajaran serta respon siswa terhadap strategi-strategi tersebut, juga menjadiaspek-aspek pendidikan yang dapat diteliti dengan paradigma interaksi simbolik. Kemudian, paradigma tersebut juga dapat digunakan dalam penelitian evaluatif, yakni mengevaluasi implementasi berbagai kebijakan sekolah oleh stakeholder sekolah, dalam konteks ini, siswa, guru serta orang tua siswa, khususnya dalam rangka memahami persepsi-persepsi mereka tentang kebijakan tersebut. Semuanya itu menjadi sangat berarti dalam konteks pengembangan program ke depan.
Bidang pendidikan yang selama ini senantiasa didekati dengan paradigma pengukuran, pada hakikatnya bisa didekati dengan paradigma pemaknaan dan interpretasi, sehingga tidak saja memperoleh gambaran realitas yang terukur tapi juga dapat difahami secara substantif, tentang apa yang terjdi, mengapa terjadi dan apa yang dikehendaki. Peneliti bisa datang menemui para guru dan siswa, menemui orang tua siswa, melakukan interview dengan mereka, dan dalam upaya memperoleh makna yang sesuai interpretasi mereka, peneliti tidak cukup hanya datang sewaktu-waktu untuk wawancara, tapi datang ke sekolah selayaknya guru, berinteraksi dengan guru, dengan siswa dan dengan orang tua siswa, sehingga tidak ada jarak antara dia sebagai peneliti dengan guru, siswa dan orang tua siswa sebagai objek yang diteliti.

6. Psikologi Ekologis

Paradigma psikologi ekologis merupakan salah satu model dalam penelitian kualitatif yang fokusnya berbeda dengan inquiri heuristik, etnometodologi dan interaksi simbolik yang semuanya merupakan derivasi dari aliran fenomenologi. Aliran psikologi ekologis lebih memfokuskan perhatiannya pada hubungan antara prilaku manusia dengan lingkungannya. Paradigma ini, sebagaimana Patton katakan, dikembangkan dengan berbasis pada teori bahwa setiap individu memiliki intrerdependensi dengan lingkungan sosialnya (Patton,1990: 77). Mereka mempengaruhi perubahan-perubahan sosial, sebagaimana mereka juga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan tersebut. Dalam konteks ini John W Best menyatakan, bahwa fokus utama dalam penelitian yang dilakukan dengan menggunakan paradigma psikologi ekologis adalah mencari jawaban terhadap pertanyaan pokok, tentang bagaimana upaya-upaya setiap individu untuk mencapai tujuan-tujuan melalui prilaku yang spesifik dalam lingkungan yang spesifik (Best,1993: 189). Penelitian model ini banyak digunakan dalam penelitian psikologi dan atau ekologi.
Para peneliti memulai dengan sebuah teori serta penjelasan detail tentang posisi, peran dan kedudukan setiap individu dalam lingkungannya. Lalu mereka mengamati alur prilaku yang kemudian dianalisis sebagai sebuah tahapan untuk mencapai tujuan yang sudah diasumsikan akan tercapai. Penelitian ini akan menghasilkan gambaran tentang harapan dan tujuan yang hendak dicapai dari cita sebuah komunitas sosial, lalu mencatat dan menganalisis tindakan-tindakan nyata yang diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut, serta arah yang tepat untuk ditempuh dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkannya itu.
Unit analisis dari penelitian dengan model psikologi ekologis ini pada dasarnya adalah individual, yakni individu-individu dalam sebuah komunitas sosial. Akan tetapi para ilmuwan sosial juga sering memperluas unit analisisnya itu menjadi sebuah komunitas sosial, terutama dalam konteks penelitian evaluatif tentang pencapaian program-program yang telah dideskripsikan dari sebuah organisasi, atau sebuah komunitas sosial dalam upaya pengembangan masyarakat dengan melakukan berbagai perlakuan pada mereka. Penelitian bisa dilakukan untuk mengevaluasi perubahan-perubahan yang telah terjadi menuju cita idealnya, serta perlakuan-perlakuan apa yang seharusnya kemudian dikembangkan dalam upaya mencapai idealitas tersebut.
Di samping itu, paradigma psikologi ekologis juga biasa mengembangkan fokus pengamatan tentang seting prilaku masyarakat, kumpulan dan penyebaran empat-tempat, benda-benda, serta ritme dan pola pengaturan waktu dari wilayah dan masyarakat yang diamati, dan merupakan identitas dari lingkungan objek penelitian. Deskripsi tersebut, kendati diuraikan, namun bukan sebagai fokus utama, namun semata sebagai bahan-bahan pendukung yang amat diperlukan dalam upaya penggambaran pencapaian masyarakat menuju cita idealnya.
Penelitian kualitatif dengan model atau paradigma psikologi ekologis ini memang unik, karena diawali dengan paradigma kualitatif yang ditandai dengan deskripsi latar atau lingkungan tempat penelitian tersebut dilakukan, tentang tempat-tempat penting, benda-benda, pola pengaturan waktu serta seting prilaku dan kultur masyarakatnya. Namun ketika peneliti hendak mengetahui sampai dimana pencapaian perubahan masyarakat menuju cita idealnya, aspek-aspek apa yang pencapaiannya baik, dan aspek-aspek apa yang pencapaiannya lemah, serta faktor-faktor apa yang dominan mempengaruhi pencapaian tersebut, semua dianalisis secara numerik, dan bahkan mungkin dianalisis secara statistik. Hanya saja, paradigmanya diawali dengan paradigma kualitatif. Fokus penelitian psikologi ekologis ini adalah hubungan antara prilaku manusia dengan perubahan-perubahan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, prosedur analisis statistik akan sangat banyak digunakan dalam penelitian model ini. Dan berbeda jauh dengan model fenomenologis yang menghendaki dan menuntut peneliti untuk melakukan pengamatan terlibat, bahkan melakukan perbuatan sebagaimana kelompok masyarakat yang diamatinya, khususnya dalam fenomena yang menjadi fokusnya. Dalam model terakhir ini, peneliti tidak ditunutut untuk melakukan pengamatan terlibat, cukup melakukan pengamatan yang tidak terlibat, bahkan peneliti bisa menggunakan questioner untuk memperoleh data yang diperlukannya, karena, data yang dibutuhkan adalah pencapaian prilaku menuju cita idealnya, bukan makna dari prilaku itu sendiri.
Nampaknya model ini banyak relevansinya dengan kultur penelitian pendidikan serta kepentingan pengembangan berbagai kebijakan dalam pendidikan, baik dalam konteks mengevaluasi implementasi kebijakan yang telah ditetapkan, maupun dalam upaya mengembangkan berbagai kebijakan baru, berbasis pada pencapaian serta permintaan masyarakat sendiri. Wilayah pendidikan yang relevan dengan model ini sangat variatif, bisa untuk evaluasi program-program pendidikan, mengassess permintaan masyarakat, mengevaluasi pelaksanaan kurikulum serta berbagai kebijakan internal lainnya.

7. Analisis Sistem

Salah satu model atau paradigma penelitian kualitatif dan diintrodusir, digunakan serta dikembangkan oleh para peneliti sosial adalah analisis sistem, yakni penelitian dengan fokus pada pola-pola hubungan sistemik antara satu fenomena dengan lainnya dalam kehidupan sosial. Tidak ada fenomena yang independen, dan tidak ada pula fenomena yang terjadi hanya dipengaruhi oleh satu faktor. Dengan demikian, penelitian yang hanya membatasi untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan dependennya, maka penelitian tersebut akan menghasilkan kesimpulan yang parsial, tidak holistik dan pasti tidak komprehensif. Oleh sebab itu, jika penelitian itu dilakukan untuk memperoleh gambaran holistik tentang sebuah fenomena serta keterkaitannya dengan fenomena lainnya, penelitian sosial tersebut perlu dilaksanakan dengan dibantu paradigma analsisi sistem yang melihat fenomena melalui cara pandang sistemik, yakni setiap kejadian dipengaruhi oleh kejadian sebelumnya, dan akan mempengaruhi kejadian sesuadahnya. Penelitian dengan fokus pola-pola hubungan tersebut biasa disebut dengan penelitian analisis sistem. Best mengatakan, bahwa pola pandang sistemik ini berusaha mencarai jawaban tentang bagaimana dan kenapa sistem ini berfungsi secara holistik (Best,1993: 189). Penelitian model ini dapat dilakukan oleh semua bidang ilmu, apakah antropologi, sosiologi, psikologi, atau lainnya dalam satu rumpun dan karakter keilmuan yang sama. Dengan kata lain model ini bisa digunakan secara interdisipliner.
Ada tiga argumentasi mengapa model ini dikembangkan dalam penelitian kualitatif, atau inkuiri naturalistik (Patton,1990: 78), yakni:
1. Perspektif sistem menjadi semakin penting dalam upaya memahami kenyataan yang kompleks, melihat sesuatu sebagai sebuah keseluruhan yang lekat dalam sebuah konteks, dan masih memiliki unsur-unsur keseluruhan yang lebih besar.
2. Beberapa pendekatan terhadap penelitian sistem memperlihatkan arah pada model penelitian inkuiri naturalistik.
3. Orientasi sistem bisa sangat membantu dalam proses memahami data kualitatif.
Melalui tiga argumentasinya ini, Patton hendak menjelaskan bahwa realitas kehidupan dunia ini sangat kompleks, dan antara sebuah kenyataan dengan lainnya senantiasa memiliki hubungan-hubungan dialektis. Dengan demikian untuk melihat dan menggambarkan hubungan-hubungan tersebut harus dilakukan dengan model penelitian inkuiri naturalistik yang memiliki kecenderungan penelitian yang holistik. Tidak bisa hanya dengan pengukuran hubungan antara satu variabel dengan lainnya yang memiliki berbagai keterbatasan. Di samping itu, bahwa penelitian kualitatif ini amat membantu dalam menggambarkan hubungan antara satu kejadian dengan lainnya, dengan sebuah deskripsi yang rasional dapat difahami dan sangat masuk akal.
Ciri model penelitian perspektif sistem ini adalah berfikir holistik, tidak parsial dan tidak hanya melihat interkoneksi antara satu kejadian dengan lainnya, tapi penggambaran yang menyeluruh, dalam aspek-aspek yang memiliki interdependensi kuat, yang jika salah satunya mengalami perubahan maka akan membawa perubahan yang sama pada bagian lainnya. Bahkan lebih jauh Patton menegaskan, jika salah satu elemen mesin mobil tidak terpasang, maka mobil tersebut tidak akan bisa hidup dan tidak mampu mengangkut orang atau barang. Demikian pula jika salah satu bagian organ tubuh vital manusia ini tidak ada, dia tidak akan bisa hidup (Patton,1990: 79). Begitulah hubungan sistemik dalam kehidupan sosial.
Model penelitian perpsektif sistem ini senantiasa membutuhkan apa yang disebut Patton sebagai berfikir sintetis (Patton,1990: 79), sebagai antonim berfikir analitis. Jika dalam berfikir analitis, setiap bagian dari data keseluruhan itu dijelaskan, dalam berfikir sitetik diposisikan dalam jalinan sistem secara holistik. Kemudian, jika dalam berfikir analitis, setiap bagian itu dijelaskan, dalam berfikir sintetik penjelasan itu untuk keseluruhan bagian dalam jalinan sistem tersebut. Dan terakhir, jika dalam berfikir analitis, setiap bagian itu memperkuat akumulasi keilmuan sebagai sebuah kesimpulan, dalam berfikir sintetik, setiap bagian itu dijelaskan fungsi-fungsinya dalam membangun sistem secara keseluruhan. Berfikir sintetik melahirkan penjelasan tentang fungsi bukan struktur. Penelitian sistem menjelaskan mengapa sistem itu terjadi dalam jalinannya, bukan menjelaskan bagaimana sistem itu bekerja. Kendati pun demikian, berfikir sintetik juga akan lebih baik jika disertai berfikir analitik, sehingga penjelasan mengapa sistem itu terjadi dan bekerja dalam kehidupan nyata, juga dilengkapi dengan penjelasan bagaimana sistem tersebut bekerja.
Peneltin sistem ini bisa dilakukan dalam setiap bidang ilmu, termasuk dalam bidang pendidikan, karena pendidikan dikelola oleh sebuah organisasi yang terdiri dari banyak orang dan bekerja dalam tahapan-tahapan sistemik yang satu sama lain memiliki jalinan dialketis. Penelitian sistem perlu dilakukan untuk merumuskan model ikatan dan jalinan sistemik tersebut secara holistik, sehingga memperoleh gambaran utuh tentang sebuah pendidikan. Tidak cukup hanya dengan mengukur korelasi antara variabel independen dengan variabel dependent-nya, karena dalam setiap fenomena terlibat fenomena lain sebagai sebabnya, dan demkianlah seterusnya. Dengan penelitian korelasional akan diketahui besar kecilnya hubungan antar variabel, tapi terbatas hanya variabel yang diukurnya, sementara variabel lain tidak, apalagi bidal fenomena tersebut benar-benar fenomena yang tidak bisa dikategorisasi sebagai variabel.
Akhirnya, jika data yang dikehendaki itu adalah pola hububgan sistemik antara satu kejadian dengan lainnya, maka paradigma yang diguanakn adalah paradigma penelitian sistem yang menjelaskan hubungan sistemik atau ikatan dialektis antara satu kejadian dengan lainnya. Peneliti tidak perlu untuk melakukan observasi pertisipatif, cukup mengamati, ineview, dan melakukan analisis tentang ikatan jalinan antar berbagai sub sistemnya itu, sehingga bisa dijelaskan jalinan ikatan antar berbagai sub dalam sebuah sistem besar yang memiliki hubungan dialektik dan rasional.


C. Pertanyaan-Pertanyaan yang Sering Muncul Tentang Penelitian Kualitatif

Pembahasan sub ini diinspirasi oleh tulisan Bogdan dan Biklen yang berjudul Sebelas Pertanyaan Tentang Penelitian Kualitatif (Bogdan dan Biklen,2003: 32), namun dalam tulisan ini hanya akan diangkat 10 pertanyaan yang masih sangat relevan untuk dibahas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Apakah hasil pnelitian kualitatif itu bisa digeneralisasi ? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan paling menohok terhadap penelitian kualitatif karena tidak pernah melakukan generalisasi. Generalisasi adalah ciri kerja penelitian kuantitatif, yakni hasil analisis terhadap data yang ditampilkan sampel bisa diberlakukan untuk seluruh anggota populasi. Penelitian kualitatif tidak berpretensi untuk melakukan generalisasi, karena sebagaimana dikemukakan oleh Glesne, bahwa fenomena sosial itu kompleks terdiri dari dari berbagai realitas, dan tidak bisa dipecah-pecah menjadi variabel yang partial, karena kehidupan sosial itu merupakan satu kesatuan holistik, saling keterkaitan satu sama lain. Dan penelitian kualitatif dilakukan untuk bisa memahami fenomena tersebut, lalu diinterpretasi sehingga bisa dijelaskan secara rasional, empirik dan sistematis (Glesne,1999: 5). Dengan demikian, jika ada sebuah fenomena dari sebuah sekolah, lalu dijelaskan melalui proses pemaknaan dan interpretasi, hasil analisis tersebut tidak serta merta bisa diberlakukan untuk jenis sekolah yang sama, pada jenjang yang sama di kota yang sama, karena masing-masing sekolah akan memiliki fenomena yang spesifik, memiliki siswa yang berbeda latar belakang keluarga serta basis kulturnya. Pada umumnya para peneliti kualitatif tidak berfikir tentang generalisai. Mereka biasanya lebih tertarik dengan membuat pernyataan-pernyataan yang general dalam proses kehidupan sosial, daripada membuat pernyataan yang menggeneralisasi antara satu kelompok dengan lainnya, karena prilaku manusia tidak bisa dijelaskan dengan cara pengambilan data secara acak atau menjelaskan berbagai idiosinkretik dari prilaku mereka.
2. Bagaimana dengan pendapat peneliti, dugaan serta berbagai bias lainnya, apakah akan mempengaruhi data ? Menurut Bogdan dan Biklen (2003: 33), para peneliti kualitatif, apakah yang berasal dari kalangan ahli sosiologi ataupun anthropologi telah berusaha berathun-tahun memerangi bias subyektifitas, terutama ketika data mereka serap dan mereka olah dalam otak mereka sebelum dituangkan ke dalam tulisan. Kekhawatiran akan subyektifitas akan terus meningkat, karena bisa saja mereka hanya akan menyimpulkan teori berdasarkan data yang mereka butuhkan, bukan berdasarkan data yang ada dalam kenyataan. Oleh sebab itu, dalam penelitian kualitatif telah disusun prosedur kerja dan teknik-teknik penelitian yang bisa meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut, antara lain dengan cara-cara sebagai berikut.
a. Dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti tidak boleh langsung mengambil kesimpulan setelah satu kali melakukan kunjungan, observasi dan wawancara, tanpa melakukan perenungan-perenungan, verifikasi dan mereview data dengan kompilasi data lain dari komunitas yang sama dalam fokus yang sama. Peneliti harus terus mengkonfrontasikan pendapat, pandangan dan dugaannya dengan data yang ia temukan. Sejalan dengan itu, Glesne menegaskan bahwa peneliti harus bertanya pada diri sendiri, siapa yang belum ditemui, siapa dari subyek penelitian yang belum sering ditemui untuk diamati dan diinterview, ke bagian mana dari unit analisis yang sudah ditemui, bagian mana yang belum didatangi dan seterusnya (Glesne,1999: 152).
b. Peneliti memiliki kepentingan untuk menemukan rumusan-rumusan teoretik tentang fokus yang diamatinya, dan bukan hanya untuk menyelesaikan tugas dan memberikan pernyataan-pernyataan akhir dari sebuah studi. Peneliti harus memiliki pandangan bahwa setiap fenomena memiliki dimensi-dimensi yang kompleks, dan mereka bertugas mencoba melukiskan kompleksitas tersebut, bukan menyempitkannya (Bogdan dan Biklen,2003: 33).
c. Para peneliti kualitatif terus melawan subyektufitas mereka dengan senantiasa mencatat semua data yang diamatinya, bahkan termasuk refleksi mereka terhadap data yang diamatinya itu, dan mereka bekerja dalam sebuah tim yang masing-masing memiliki catatan lapangan, dan mereka saling mengkritisi satu sama lain, sehingga akan dapat meminimalisasi bias, dan dapat mencoret serta membuang berbagai catatan yang memiliki indikasi bias subyektifitas peneliti (Moleong,2000: 8). Kendati demikian, pada umumnya para peneliti kualitatif tetap akan menyadari bahwa subyektifitas itu tetap akan ada, terutama ketika data itu masuk pada otak mereka untuk dimaknai dan diinterpretasi. Walaupun bagaimana sangat tidak mungkin peneliti melepaskan dirinya dari pengalaman masa lalunya, termasuk tentang data yang diamatinya. Benar-benar bisa melepaskan diri dari subyektifitas bukan sesuatu yang mungkin bisa dilakukan, dan juga bukan sesuatu yang benar-benar diharapkan. Standpoint peneliti justru merupakan entripoint untuk masuk pada data (Bogdan dan Biklen,2003: 34).
3. Apakah kehadiran peneliti tidak akan mengubah prilaku kelompok masyarakat yang akan diamati ?. Ini adalah pengaruh pengamatan langsung dari peneliti. Walaupun bagaimana sangat sukar dihindari terjadinya perubahan subyek penelitian, yakni kelompok sosial yang menjadi obyek pengamatan, ketika peneliti itu datang. Jika seorang peneliti datang, lalu duduk bersama, berdiskusi dan melakukan interview, mereka melakukan perubahan-perubahan prilaku yang artifisial. Para peneliti kualitatif telah bertahun-tahun mencoba meminimalisasi perubahan-perubahan artifisial tersebut dengan menyusun prosedur pengumpulan data yang bisa lebih natural, apa adanya dan tidak muncul perubahan-perubahan prilaku akibat sikap peneliti yang terkadang suka menonjolkan diri. Semakin seorang peneliti itu menonjolkan diri dan seolah-olah memberi ancaman pada subyek penelitian, maka semakin cepat dia mengakhiri kerja pengumpulan datanya, sehingga tidak akan bisa memperoleh data yang diperlukannya. Akan tetapi, tidak akan pernah bisa kehadiran peneliti di tengah-tengah subyek penelitiannya itu tidak mengubah prilaku mereka. Seorang guru yang dia tahu bahwa waktu itu ada seorang peneliti sedang melakukan observasi, pasti dia akan menunjukkan prilaku idealnya sebagai prilaku artifisial, sehingga peneliti tidak melihat prilaku yang sebenarnya. Demikian juga dengan kepala sekolah atau unsur-unsur sekolah lainnya. Oleh sebab itu, untuk meminimalisasi prilaku-prilaku artifisial, peneliti boleh melakukan proses pengumpulan datanya setelah saling mengenal satu sama lain, melakukan dialog panjang dan diskusi panjang, sehingga satu sama lain sudah saling percaya dan peneliti sudah bisa merasa di tempatnya sendiri, subyek penelitian juga sudah memandang peneliti sebagai bagian dari kelompok sosialnya (Bogdan dan Biklen,2003: 35). Hal sama juga menjadi perhatian Gorden, menurutnya kehdiran peneliti, khususnya ketika akan melakukan interview bisa mempengaruhi kesiapan dan partisipasi subyek penelitian, jika peneliti kurang mampu mengadaptasikan diri dengan mereka (Gorden,1992: 52). Oleh sebab itu, sebelum melakukan interview, pelajari dulu subyek penelitian, kalau mereka belum berpartisipasi, tutup dahulu interview, dan teruskan kembali pada waktu yang lain, sampai waktunya tepat, mereka memiliki semangat untuk berpartisipasi dan mereka juga mau bersikap kooperatif dengan kegiatan peneliti.
4. Apakah dua peneliti yang secara independen melakukan penelitian pada subyek yang sama akan melahirkan hasil penelitian yang sama ?. Pertanyaan ini terkait dengan teori reliabilitas dalam penelitian kuantitatif, yakni bahwa hasil pengamatan dua peneliti yang berbeda dalam fokus yang sama dari sampel atau populasi yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Penelitian kualitatif tidak mengharapkan hasil sebagaimana penelitian kuantitatif, karena para peneliti, khususnya para peneliti pendidikan berasal dari latar belakang keilmuan yang berbeda, dan juga memiliki pengalaman-pengalaman keilmuan berbeda (Bogdan dan Biklen,2003: 35). Ada sebahagian yang memiliki keahlian dalam bidang manajemen pendidikan, kurikulum, metode dan evaluasi, sementara yang lainnya ada yang memiliki keahlian tentang psikologi pendidikan, atau sosiologi pendidikan. Penelitian kualitatif tidak terlalu menekankan kesamaan dat yang diperoleh dengan menggunakan instrumen yang sama dari kelompok yang berbeda. Akan tetapi, penelitian kualitatif lebih menekankan akurasi data dan tinjauan yang komprehensif. Peelitian kualitatif lebih menekankan konsistensi antara apa yang dicatat oleh peneliti dengan apa yang terjadi dalam kenyataan empirik. Sendainya dua peneliti mencoba melakukan kajian fokus yang sama, dalam seting sosial yang sama, menghasilkan kesimpulan yang berbeda, tidak mengurangi reliabilitas penelitian, sejauh tidak menghasilkan rumusan yang kontradiktif.
5. Bagaimana membedakan kegiatan penelitian kualitatif dengan kegiatan profesi keguruan ?. Seorang guru yang cerdas dan kreatif akan senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan pekerjaan profesinya dengan mengevaluasi apa yang sudah dia kerjakan, dianalisis kelemahan-kelemahan, dan dicari solusi perbaikannya. Dengan demikian, sebahagian aktifitas guru juga adalah penelitian. Lalu apakah penelitian itu bisa dibedakan secara distinktif dari kegiatan profesi keguruan.
Bila dilihat dari aspek aktifitas evaluasi untuk melakukan perbaikan, memang profesi keguruan menuntuk skil penelitian, dan aktifitas profesi guru adalah juga aktifitas profesi peneliti. Akan tetapi, tidak identik antara profesi keguruan dengan profesi penelitian, karena profesi penelitian dimulai dengan design penelitian, walaupun di dalamnya ada aktifitas pengembangan proses pembelajaran, tapi proses tersebut dikembangkan dalam konteks penelitian, dan dalam konteks pengem-bangan berbagai rekomendasi untuk perbaikan kurikulum, design pembelajaran, strategi atau evaluasi atau aspek-aspek pembelajaran lain yang menjadi fokusnya. Akhir kegiatan penelitian adalah pelaporan tentang teori yang dihasilkan dari kegiatan penelitiannya, sedangkan hasil akhir guru adalah pelaporan tentang pencapaian prestasi siswa yang diajarnya (Bogdan dan Biklen,2003: 36).
6. Apakah pendekatan kualitatif bisa digunakan bersama-sama dengan kuantitatif dalam sebuah aktifitas penelitian ?. Paradigma penelitian kualitatif dan kuantitatif sangat berbeda. Kualitatif adalah membangun teori berbasis data, sementara penelitian kuantitatif membangun teori berbasis teori, data hanya digunakan untuk menguji bakal teori. Kemudian, penelitian kuantitatif dilakukan dengan mendefinisikan, mengelaborasikan dan menyusun indikator-indikator variabel, karena yang diukur adalah variabel penelitiannya, sementara kualitatif berpretensi untuk menjelaskan fokus permasalahan yang dikaji dengan memahami dan menginterpretasi fenomena. Diakui oleh Patton, bahwa masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya. Penelitian kuantitatif bisa menjelaskan dalam bentuk ukuran-ukuran dan bisa dilakukan generalisasi, karena tidak menyentuh detail unik dari sebuah fenomena sebagai sebuah keseluruhan yang holistik. Sementara penelitian kualitatif bisa memberikan informasi yang sngat kaya tentang sebuah fenomena, sehingga bisa menjelaskannya secara holistik dan detail, namun tidak bisa melakukan generalisasi, karena menyentuh detail-detail yang unik. Kemudian validitas data yang diperoleh dalam penelitian kuantitatif sangat ditentukan oleh validitas instrumen yang akan digunakan. Oleh sebab itu, dalam penelitian kuantitatif, para peneliti harus sangat serius mempersiapkan instrumen, diuji berkali-kali sehingga benar-benar memperoleh instrumen yang valid. Berbeda dengan penelitian kualitatif, kekuatannya pada peneliti, karena peneliti adalah instrumennya. Oleh sebab itu, validitas data yang diperoleh sangat ditentukan oleh kualitas skil, kompetensi serta keseriusan peneliti untuk mempersiapkan dan melakukan fieldwork (Patton,1990: 14). Namun sebagaimana Patton katakan lebih jauh, bahwa data kuantitatif dan kualitatif bisa dikumpulkan dan diolah untuk satu kegiatan penelitian, apapun paradigmanya, apakah kuantitatif ataupun kualitatif, karena paradigma keduanya tidak bisa disatukan, karena kepentingannya berbeda, namun data yang dikumpulkan bisa saling melengkapi dan saling mendukung satu sama lain (Patton,1990: 15).
7. Apakah Penelitian kualitatif itu sainstifik ?. Donald Ary dalam bukunya Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, yang diterjemahkan oleh Arif Furchan, menegaskan bahwa, berfikir induktif merupakan salah satu sumber pengetahuan (Ary,2004: 4). Penelitian kualitatif adalah model penelitian yang merumuskan kesimpulan melalui prosedur berfikir induktif. Dengan demikian, penelitian kualitatif merupakan salah satu prosedur akademik untuk melahirkan pengetahuan-pengetahuan yang akhirnya bisa memperkuat susunan dan bangunan sebuah ilmu. Hanya saja, sebagaimana Lexy Moleong katakan bahwa penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari sebuah keutuhan, karena penelitian ini dikembang-kan di atas paradigma bahwa sebuah kenyataan secara utuh tidak dapat difahami jika dipisahkan dari konteksnya (Moleong,2000: 4). Dengan demikian, penjelasan sebuah fenomena hanya bisa dilakukan dengan benar jika peneliti itu mendatnagi konteksnya, memahami fenomena tersebut dan kemudian menginterpretasikannya. Inilah cara kerja ilmiah dari penelitian kualitatif, yang biasa juga disebut sebagai sebuah model penelitian aliran interpretisme. Memang, sebagaimana diakui oleh Bogdan dan Biklen, bahwa banyak orang yang berfikir sempit tentang ilmiah. Mereka hanya mendifisikan bahwa penelitian ilmiah itu hanyalah penelitian deduktif, pengujian hipotesis, yang semuanya itu berbasis teori (Bogdan dan Biklen,2003: 37). Alan tetapi sebagai ilmuwan kita harus lebih terbuka, karena tidak semua ilmu hanya bisa dirumuskan dengan prosedur berfikir deduktif, tapi juga dengan berfikir induktif. Dengan demikian, sejauh penelitian kualitatif itu menghargai rasionalisme, empirik dan bisa disajikan hasil-hasilnya secara sistematis, maka penelitian kualitatif termasuk dalam kategori penelitian ilmiah.
8. Apa tujuan dari penelitian kualitatif ?. Apakah penelitian kualitatif dapat mengha-silkan rumusan-rumusan teori ilmiah tentang pendidikan atau bidang ilmu lainnya. Penelitian kualitatif dilakukan dalam upaya memahami prilaku manusia dan bisa menjelaskan melalui proses interpretasi terhadap makna dan pemahaman terhadap prilaku tersebut secara rasional dan sistematis. Walaupun para peneliti dengan independensinya bisa merumuskan tujuan masing-masing dari kegiatan penelitiannya, namun secara umum bahwa produk penelitian mereka adalah sebuah formula teori tentang fokus yang diamati. Dan, sebagaimana Patton tegaskan, bahwa tujuan penelitian kualitatif itu adalah menghasilkan data yang kompleks, holistik dengan informasi yang sangat kaya sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang sebuah fenomena (Patton,1990: 24). Oleh sebab itu, penelitian kualitatif harus dilakukan dengan waktu yang cukup lama, agar dapat memperoleh seluruh data yang diperlukan. Bersamaan dengan itu, sebagaimana Bogdan dan Biklen katakan, bahwa secara aksiologis, para peneliti akan senantiasa menyampaikan rumusan bahwa kegiatan penelitiannya itu dilakukan dalam upaya melakukan perubahan-perubahan sosial (Bogdan dan Biklen,2003: 38), namun hasil akhir dari aktifitas penelitiannya adalah sebuah teori ilmiah, yang jika diakumulasi akan menjadi sebuah susunan ilmu yang holistik, koherens dan sistematis.
9. Bagaimana membedakan penelitian kualitatif dari kuantitatif ?. Pada umumnya para penulis metodologi penelitian menjelaskan penelitian kualitatif sebagai kebalikan dari penelitian kuantitatif. Namun untuk membantu memudahkan memahami perbedaan keduanya, berikut adalah tabel yang mencoba menggambarkan perbe-daan keduanya yang diadaptasi dari Bogdan dan Biklen (2003: 39).

10. Pendekatan mana yang paling baik, apakah kualitatif atau kuantitatif ?. Pertanyaan ini diinspirasi dengan kenyataan empirik di kalangan akademisi sendiri, karena sebahagian dari mereka ada sangat fanatis dengan pendekatan kuantitatif dan mendiskreditkan pendekatan kualitatif, sementara sebahagian dengan argumen-tasinya sendiri fanatis terhadap pendekatan kualitatif dan mendiskreditkan pende-katan kuantitatif. Dalam dunia pendidikan tidak pernah memposisikan salah satu pendekatan sebagai yang terbaik dan yang lainnya jelek. Akan tetapi, kedua pendekatan tersebut digunakan sesuai kebutuhannya. Jika penelitian itu dilakukan untuk melihat kualitas hasil pendidikan dari satu jenjang sekolah tertentu di satu propinsi atau kabupaten tertentu, dan memprediksi kemajuan-kemajuan yang akan terjadi dalam lima tahun ke depan dengan melakukan berbagai perbaikan, maka pendekatan yang relevan untuk digunakan adalah kuantitatif. Akan tetapi, jika penelitain itu dilakukan untuk melihat apa yang dilakukan sekolah-sekolah unggul sehingga bisa melahirkan outcome yang kompetitif ?, maka pendekatan yang relevan untuk dilakukan adalah kualitatif. Demikian pula jika penelitian itu dilakukan untuk mencoba menganalisis efektifitas boarding school dalam peningkatan mutu sekolah di sebuah propinsi atau kabupaten tertentu, maka pendekatan yang relevan adalah kuantitatif, sementara jika penelitian itu dilakukan untuk menggambarkan model boarding school tertentu secara holistik, maka pendekatan yang relevan adalah kualitatif. Kedua pendekatan tersebut sangat diperlukan dalam memajukan teori-teori pendidikan.

D. Etika Penelitian

Etika penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama oleh para peneliti pemula yang terkadang melakukan kesalahan yang tidak perlu tapi berisiko tidak memperoleh data apa-apa dari area penelitiannya. Kemudian, etika penelitian ini juga diperlukan untuk meminimalisasi bias, baik dalam proses memaknai dan memahami fenomena, maupun di saat melakukan interpretasi. Kode etik peneliti sebenarnya merupakan kesepakatan-kesepakatn lokal dari para peneliti yang disusun berdasarkan pada pengalaman mereka, namun dalam konteks ini akan dikemukakan beberapa aturan etika penelitian yang diadaptasi dari Corrine Glesne (1998: 115), yang mengangkat kode etik penelitian dari kalangan para peneliti antropologi, dan dari Bogdan dan Biklen (2003: 45), yang mengangkat etika penelitian kesepakatan dari para peneliti sosiologi. Etika penelitian yang bisa disimpulkan dari keduanya adalah sebagai berikut.
1. Hindari proses pengumpulan data dalam situasi yang kurang menyenangkan, dan informan terlihat merasa terpaksa untuk melayani memberikan informasi-informasi yang diketahuinya pada peneliti. Untuk itu, jika penelitian dilakukan dengan informan guru, siswa atau kepala sekolah, hindari interview di saat mereka sibuk melaksanakan tugas rutinnya, cari benar waktu luang, dan di saat mereka sedang nampak antusias bersama peneliti, sehingga merasa senang untuk berdiskusi dan menyampaikan berbagai informasi yang mereka miliki.
2. Hormati dan hargai privasi serta harga diri informan, jangan menyampaikan perta-nyaan pada informan yang akan menyinggung perasaan mereka, seperti jika peneliti hendak meneliti kebiasaan belajar para siswa dengan prestasi terburuk di sekolahnya, akan tidak baik jika dia langsung menemui orang tuanya dan mena-nyakan kebiasaan-kebiasaan mereka memanfaatkan waktu luang di rumahnya, karena mereka akan emosional dengan pertanyaan tersebut, karena pada hakikatnya mereka sendiri tidak suka anaknya bodoh, dan lebih tidak suka pula kebodohannya itu diketahui oleh orang lain. Oleh sebab itu, cari cara yang lebih santun dan tidak mengganggu harga diri informan, umpamanya melalui surat yang dikirimkan guru BK-nya yang meminta penjelasan orang tua tentang kebiasaan belajar anak di dalam rumah, atau kebiasaan mereka dalam mengisi waktu luang.
3. Jaga komitmen waktu, peneliti atau agensinya ternasuk universitas penyelenggara penelitian tidak boleh memaksa pada informan melalui surat pengantarnya, dengan menentukan tanggal, waktu dan durasi interview, karena belum tentu informan siap melayani peneliti dalam waktu yang ditentukan universitas atau agensi penelitian yang mensponsori kegiatan penelitiannya itu.
4. Jaga hak-hak informan, jika mereka menghendaki agar namanya dirahasiakan, karena khawatir mereka akan merasa khawatir, tidak tenang dan selalu merasa terganggu jika namanya terpublikasikan bersama informasi yang disampaikannya. Peneliti harus menjaga kerahasiaan tersebut tidak sekedar dalam tulisan, baik pelaporan maupun jurnal, tapi juga dalam forum presentasi atau pembahasan hasil penelitiannya itu.
5. Perlakukan subyek penelitian dengan layak, santun dan penuh rasa hormat agar mereka bersikap kooperatif terhadap program penelitian dengan penuh antusias dan ekspektatif. Peneliti harus bersikap terbuka dan berterus terang pada subyek penelitian tentang kegiatan penelitiannya itu, mengapa penelitian dilakukan, dan untuk apa serta untuk siapa hasil penelitian itu dikembangkan dan diperuntukkan. Bersikaplah terbuka pada subyek penelitian sampai mereka memperbolehkan peneliti untuk melanjutkan kegiatan penelitiannya. Penelitian tidak harus berbohong pada subyek penelitian, dan juga tidak usah menyembunyikan tape recorder atau alat rekaman lainnya ketika interview sedaang berjalan.
6. Peneliti harus merumuskan persetujuan tentang rencana penelitian dengan jelas bersama subyek penelitiannya, dan lalu mentaatinya dalam seluruh step penelitian, dari tahap pertama memasuki latar sampai pelaporan dan publikasi hasil penelitian serta pemaparannya dalam forum seminar.
7. Sampaikan kebenaran tentang hasil penelitian sesuai data yang terkumpulkan. Kendati secara ideologis, umpamanya, seorang peneliti harus menunda perumusan kesimpulannya, atau memperoleh tekanan dari kekuatan tertentu agar tidak mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya, seorang peneliti harus tetap memiliki integritas dengan kebenaran yang diyakininya, tetap meneruskan penyimpulan hasil penelitiannya, walaupun bertentangan dengan keinginan kekuatan tertentu atau ideologi tertentu. Distorsi terhadap data yang diperoleh, dan lalu mengolahnya sesuai permintaan kekuatan tertentu dan bukan berdasarkan kebenaran data yang ditemukannya, merupakan dosa besar bagi seorang ilmuwan, karena mengingkari kebenaran yang ditemukannya sendiri.


---------------------









DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta,2002.

Best, John W., and james V Kahn, Research in Education, Allyn and bacon, Boston,1993.

Bogdan, Robert C., and Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, an Introduction to Theories and Methods, AB, Boston, 2003.

Faisal, Sanapiah, Metodologi Penelitian Pendidikan, Usahan Nasional, Surabaya, 1982.

Glesne, Corrine, Becoming Qualitative Researchers, an Introduction, Longman, New York,1999.

Gunawan, Ary, Sosiologi Pendidikan, Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Rineke Cipta, Jakarta, 2000.

Lancy, David F., Qualitative Research in Education, an Introduction to the Major Tradition, Longman, New York, 1993.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Bandung, 2000.

Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, bandung, 2002.

Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1999.

Patton, Michael Quinn, Qualitative Evaluation and Research Methods, Sage Publication, California, 1990.

Suriasumantri, Jujun S., Falsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta, 1987.